“Unit, Status?”
“Byakko, siap di posisi.”
“Genbu, siap di poisi.”
“….Seiryu, siap di posisi.”
“Operasi akan dimulai dalam
sepuluh menit. Semuanya, bersiaplah.”
Seiryu menarik nafas dalam. Ini bukanlah sebuah misi yang
unik untuknya. Namun entah kenapa hatinya sedikit berdebar. Dilihatnya ke bawah
gedung, tentara sekutu mulai bergerak masuk ke dalam kota. Pasukan
gabungan dari tentara Inggris dan GIANT dari Union, seharusnya tidak butuh
bantuan pasukan khusus seperti kami untuk mengatasi pemberontakan kelas
menengah seperti ini, pikirnya.
“Tatsuki, kepikiran apa? Detak jantungmu agak terlalu cepat,”
Suara kekanakan Byakko sedikit membuat Seiryu terkejut.
“Tidak… Aku cuma—”
“Byakko, apa yang kau lakukan? Kita sedang bertugas, gunakan
codename.”
“Aduh, Tommy~ jangan
terlalu kaku begitu. Siapa pula yang bisa meretas jalur komunikasi kita.”
“Sudah kubilang jangan panggil aku Tommy. Kita harus selalu
sigap, untuk antisipasi kemungkinan terburuk.”
Terpisah di Micro Tank
masing-masing, tidak menghentikan Byakko untuk menggoda Suzaku. Seiryu
hanya bisa menghela nafas panjang mendengar argumen mereka yang biasanya tidak
ada juntrungannya sama sekali.
“Hei, Seiryu. Kau ada pikiran?” Di tengah-tengah ‘perbincangan’
Byakko dan Suzaku, Genbu memotong dengan nada malas.
“Aku hanya tidak habis pikir kenapa mereka masih butuh kita,
padahal kemenangan mereka sepertinya sudah pasti. Para
pemberontak itu sudah tidak punya apa-apa lagi.”
“Kau tahu tentang percobaan pembunuhan pemimpin
pemberontakan Red Hands, Drake Logan?
Kabarnya percobaan itu gagal. Mata-mata yang dikirim malah terbunuh.
Sepertinya, karena itulah sekarang orang-orang atas ingin segera menyelesaikan permasalahan
ini dengan bantuan kita. Drake punya koneksi di timur tengah. Kurasa mereka
hanya ingin menghentikan ini sebelum permasalahan makin runyam,” jelas Genbu
yang sepertinya sedang mengunyah permen mint
kesukaannya.
“Begitu ya…”
Suzaku kemudian memotong, “Genbu, muntahkan permen itu! Fokus!
Misi sebentar lagi dimulai!”
Beberapa detik kemudian, keempat Micro Tank bertengger di atas gedung kota itu bergerak. Melompati gedung demi
gedung, keempatnya kompak bergerak menuju ke arah markas besar Red Hands—sebuah kastil kuno yang
dimiliki oleh seorang bangsawan yang juga menjadi sponsor mereka—yang disebut ‘Istana
Kemeredekaan’. Sesuai rencana, sebagian besar penjagaan di Istana Kemeredekaan
mengendur karena harus menghadapi serangan pasukan sekutu di garis depan. Dengan
optic camolage mereka pun melesat
mulus ke dalam daerah halaman Istana Kemerdekaan.
Sementara yang lainnya terus bergerak mendekat ke bangunan, Genbu
berhenti. Ia mematikan optic camoflage-nya
dan menembakkan Railgun yang
terpasang di Micro Tank-nya ke arah
gedung, membuat pintu masuk untuk Suzaku dan yang lainnya.
Begitu mereka bertiga masuk, Suzaku berseru, “Tujuan utama,
temukan Drake Logan,
dan bunuh dia. Menyebar!”
Seiryu pun berpisah dari kedua rekannya, menelusuri
lorong-lorong tinggi bangunan besar itu. Meski kuno, kastil itu masih kelihatan
megah. Di langit-langitnya yang tinggi terdapat berbagai ukiran. Amunisi dan
suplai makanan bercampur dengan perabot-perabot eksotis, terlihat di sepanjang
lorong yang lantainya dilapisi karpet merah yang kelihatan mahal. Bagaikan
sebuah pemandangan dalam buku dongeng yang entah bagaimana menjadi markas
sebuah pasukan militer.
Dalam pencariannya, Seiryu harus menghadapi beberapa anggota
pemberontakan. Persenjataan Red Hands yang
cukup hebat mengejutkan Seiryu. Dari FAMAS,
P-91, hingga LAW. Namun semua itu tidak cukup untuk menghentikan Seiryu dan Micro Tank-nya. Setidaknya Seiryu cukup
yakin akan hal itu sebelum beberapa menit kemudian ia melihat pemandangan yang
lebih mengejutkannya.
Di depannya berdiri sebuah Armored Frame bersenjata berat. Sinar merah yang mengerikan
memancar dari mata raksasa besi setinggi tiga meter lebih itu.
“Markas tidak bilang mereka punya yang seperti itu di sini!”
Seiryu menurunkan posisinya serendah mungkin ketika Armored Frame itu menembakkan roket di pinggangnya. Dua roket lanjutan yang
dilancarkan raksasa besi itu, kembali bisa dihindari oleh Seiryu dengan mendaki
tembok di sampingnya. Ia terus mendaki hingga berada di langit-langit, kemudian
menjatuhkan diri di belakang Armored
Frame itu. Ketika ia mendapatkan sudut 45 derajat, Seiryu mengunci target
dan mengaktifkan peluncur roket di Micro
Tank -nya, menghancurkan senapan dan peluncur roket di pinggang Armored Frame itu.
“Kena telak—heh?”
Bukannya menyerah, Armored
Frame itu melompat menerobos kepulan asap menuju lokasi jatuh Micro Tank, tanpa memberinya kesempatan
untuk menghindar. Raksasa besi itu langsung mencengkram Micro Tank Seiryu dengan segenap tenaganya.
“Sial… Kupertaruhkan semuanya disini!”
Mengetahui Micro Tank -nya
tidak akan bertahan lama dalam pelukan penuh kebencian itu, Seiryu membuka hatch dan menyiapkan granat EMP. Kemudian dengan tangan kanannya—yang
bukan tangan kanan biasa—ia hujamkan granat itu ke dalam celah di leher Armored Frame yang tidak terlapisi besi.
Setelah mengaktifkan sistem penghancuran di Micro
Tank–nya Seiryu melompat menjauh.
Ledakan gelombang listrik terjadi, diikuti oleh ledakan Micro Tank Seiryu. Armored Frame yang sudah tidak berkutik itu, terjatuh begitu saja
bagaikan seonggok besi besar. Seiryu—yang pendaratannya tidak begitu mulus—terjatuh
di sekitar dua meter di depannya. Dilihatnya sang pilot merangkak keluar dari
kokpit. Seiryu terkejut ketika pilot itu membuka helmnya.
“Perempuan…?!”
Saat itu, tiba-tiba terdengar suara ledakan dari luar
kastil, menyebabkan getaran yang cukup hebat. Langit-langit mulai runtuh.
Seiryu menyadari pijakan di sekitar pilot itu mulai retak. Spontan, ia berlari
menuju ke arah pilot itu—mencoba menyelamatkannya.
***
Ketika Seiryu membuka matanya, yang menyambutnya adalah
sebuah laras pistol.
“Angkat tanganmu!” Seru pilot itu, seraya menendang perut
Seiryu dengan lututnya, menyuruh Seiryu menyingkir dari atasnya. Dengan sedikit
enggan, Seiryu bangkit dan menjauh dari gadis itu dengan kedua tangan
terangkat.
“…Kenapa kau menyelamatkanku, hah?”
“Entahlah.”
“Apa karena aku perempuan?”
Seiryu bungkam. Gadis berambut merah itu berjalan mendekat
dan menghantam pipi Seiryu dengan gagang pistolnya. Seiryu jatuh terhempas
dengan keras.
“Argh!”
“Kau meremehkanku… Apa kau menganggapku seperti sampah di
tengah peperangan ini? Apa kau pikir aku cuma pajangan yang tidak bisa
melakukan apa-apa?!” Gadis itu kembali mengarahkan laras senjatanya ke arah
Seiryu.
Seiryu tidak membalas. Ia sendiri tidak tahu kenapa ia
menolong gadis ini—yang tak lain adalah seorang musuh yang nyaris saja
membunuhnya tadi. Lagipula, ia sudah biasa melihat perempuan di medan perang.
Lalu kenapa..?
Tanya pemuda itu dalam hati.
Seiryu duduk, kemudian melihat sekeliling. Selain gadis
berambut merah yang menodongnya dan reruntuhan, tidak ada apa-apa di sekitar.
Terpancar cahaya dari lubang di langit-langit yang kira-kira setinggi lima meter. Tidak ada
pintu maupun jendela. Sepertinya, ia terjebak di sini bersama si gadis berambut
merah.
“Kau kelihatan muda,” gadis itu tiba-tiba mulai bicara, “berapa
usiamu?”
“Bukan urusanmu. Kau sendiri kelihatan tidak lebih tua dari
murid SMA,” balas Seiryu dingin.
“Kau ini… Aku hanya ingin tahu, kenapa orang muda sepertimu
bisa terlibat dengan perang bodoh ini! Kau punya pilihan! Kau bisa mendapatkan
masa depan yang lebih baik!” Balas gadis itu. Ia kelihatan kesal.
“Sudah kubilang, itu bukan urusanmu. Pilihan? Aku tidak
punya yang semacam itu. Sejak aku bisa merangkak, yang mereka pertama ajarkan
adalah cara memegang senapan. Alasanku hidup hanya untuk berperang.”
Gadis itu makin terlihat kesal mendengar jawaban Seiryu,
namun sejenak kemudian raut mukanya terlihat terkejut. Tangannya yang memegang
pistol gemetar.
“J-jangan-jangan, kau ini… benar, logo di dadamu itu… Shi Sei Jyu, unit khusus yang tergabung
dalam GHOST… Rupanya memang benar rumor itu…”
“Apa maksudmu…?”
“Aku tahu, kalau Union melakukan eksperimen terhadap manusia
untuk membuat tentara khusus! Kau pasti salah satunya…! Tangan kanan itu juga…”
Seiryu menatap tangan kanannya, “Ini memang bukan tangan
biasa. Ini tangan buatan… Namun bukan kenapa-kenapa, tangan ini ada untuk
mendukungku dalam kegiatan di lapangan. Bukan karena—eh?”
Seiryu tidak bisa mempercayai mata kepalanya ketika ia
kembali menatap gadis itu.
Air mata—menetes di pipinya.
“Oi, kau…”
“Pasti… Menyakitkan ya?”
“Eh?”
“Hidup seperti itu… Hidup sebagai seorang tentara sejak kau
lahir… Pasti menyakitkan, bukan…?”
Seiryu kembali bungkam. Tetapi bukan karena ia tidak ingin—ia
benar-benar tidak bisa menjawab. Ia bahkan tidak tahu harus berbuat apa.
Gadis berambut merah itu meletakkan pistolnya di lantai. Sedikit
lunglai, ia mendekati Seiryu. Berjongkok, ia meraih tangan kanan Seiryu dan
menggenggamnya erat.
“Tangan ini… Terasa dingin,” katanya perlahan.
“S-sudah kubilang, tangan ini buatan…”
“Bukan itu.”
Kedua mata yang tadinya terpusat di tangan kanan
Seiryu—sekarang berhadapan dengannya. Berwarna hijau berkilauan bagaikan batu
zamrud, seakan merasuk ke dalam diri Seiryu. Menusuk ke dalam hatinya yang
terdalam.
“Tangan ini sudah berlumuran darah sejak kau tidak
mengetahui apapun… Itu sangat menyedihkan, kau tahu? Bertahun-tahun, kehangatan
yang pernah dirasakan tangan ini mungkin hanya hangatnya darah manusia…”
Bagaikan terhipnotis, Seiryu mendengarkan semua perkataan
gadis itu tanpa memikirkan apapun—termasuk mengambil senjata di lantai.
Ia hanya diam dan mendengarkan, menatap kedua mata kehijauan
itu tanpa berkata sepatah kata pun.
“Takdir terkadang begitu kejam….!” Dari kedua mata hijau
itu, mulai mengalir air mata lagi.
“Kau… kenapa kau menangis?” Seiryu yang begitu ingin tahu,
akhirnya memutuskan untuk bertanya.
“Aku bisa merasakannya… Semua penderitaanmu. Semua
pengalaman yang seharusnya tidak pernah kau alami… Aku bisa mengerti semua itu.”
“Kau… mengerti?”
“Ya… Aku tidak berbeda jauh denganmu. Takdir jugalah yang
membuatku harus mengangkat senjata… Aku tidak pernah menginginkan takdir yang
seperti ini,” jawab gadis itu sambil menyeka air matanya.
“Kau juga—”
“Darahku. Keluargaku adalah keluarga pejuang… Mau tidak mau,
aku harus meneruskan langkah mereka,” Gadis itu memotong pertanyaan Seiryu.
Kemudian, air muka gadis itu berubah sedikit muram, “Tentu
saja terkadang terpikir, apa jadinya jika jalan hidupku tidak seperti ini…
Mungkin aku akan melakukan hal-hal yang biasa dilakukan gadis seusiaku.
Bersekolah, berteman… Semua itu, terasa jauh sekali…” Terasa nada kesedihan
dari kata-kata gadis itu.
“Tetapi aku tidak menyesali jalan ini. Aku bisa membantu
banyak orang… Itu saja sudah cukup,” lanjutnya sambil tersenyum tipis.
Setelah itu, hening. Gadis itu hanya terdiam, terus
memandangi tangan Seiryu. Pemuda itu sendiri tidak tahu harus berkata apa,
sehingga ia juga bungkam.
Beberapa saat kemudian, gadis itu mulai meraba telapak
tangan Seiryu. Tentu saja, yang bersangkutan tidak bisa merasakan apa-apa,
karena itu adalah tangan mekanis yang tidak dipasangi sistem syaraf, agar
performa-nya bisa maksimal. Namun entah mengapa—dalam hari Seiryu terasa
sedikit kehangatan.
Perlahan, bibir gadis itu kembali terbuka, “Hei, kalau kau
mendapat takdir yang berbeda… Menurutmu, akan jadi seperti apa hidupmu?”
“Ah—”
Tiba-tiba, terdengar suara yang keras dari bebatuan di
sebelah barat. Perlahan, cahaya mulai menyusup masuk, diikuti oleh sebuah Micro Tank. Di depannya, seseorang
berjalan dengan pistol di tangannya—
“…Eh?”
Ketika Seiryu menyadarinya, gadis berambut merah itu sudah
tergeletak di lantai. Dari kepalanya, perlahan darah merembes hingga membentuk
kubangan.
“Seiryu, kau tidak apa-apa?”
“Suzaku….”
Suzaku mendekat, sementara Micro Tank —yang sepertinya milik Genbu—terdiam di dekat
reruntuhan. Suzaku membalikkan tubuh gadis itu, menunjukkan wajahnya yang
separuh hancur.
“Gretchen Logan—pemimpin pemberontakan Red Hands. Rupanya operasi pembunuhan Drake Logan berhasil, namun
karena mata-mata kita juga terbunuh, kita tidak tahu hasilnya. Gretchen Logan mengambil
alih posisi sebagai pemimpin, menjaga kestabilan organisasi. Kita baru saja
mengetahui hal ini setelah menginterogasi beberapa anggota pemberontak. Semuda
ini… Dia punya kharisma yang mungkin menyaingi ayahnya.”
Seiryu menatap wajah separuh hancur itu dengan sedikit tidak
percaya, “Jadi, gadis ini…”
“Ya… Dia menggunakan Armored
Frame untuk melarikan diri ke pesawat yang menanti di luar. Ia ingin
mencari bantuan di Timur Tengah,” Lanjut Suzaku sambil meletakkan kembali tubuh
Gretchen Logan, “misi berhasil. Kita kembali ke markas,” katanya sambil mulai
berjalan menjauh.
Seiryu bangkit, namun tidak langsung mengikuti Suzaku. Ia
berjongkok di tengah kubangan darah, menatap wajah Gretchen. Ia menggenggam
tangan kanan Gretchen, dan merabanya seperti yang Gretchen lakukan padanya.
“Benar katamu… Genangan ini hangat,” kata Seiryu sambil
menutup mata hijau Gretchen yang hanya tersisa satu.
***
“Tatsuki~”
Byakko berjingkat, mendekati Seiryu yang menyendiri di bawah
langit malam.
“Kok kau tidak di dalam?”
“Tidak… Kau tahu kan
kalau aku tidak begitu suka keramaian?”
Byakko tersenyum, “Aku tahu, kok. Aku juga tidak begitu suka
pesta pora seperti itu. Yang di dalam cuma Ramon—dia makan terus. Thomas
sepertinya masih di markas, mengurus berkas untuk misi kita selanjutnya.”
“Begitu?”
Seiryu kemudian mengamati sosok Byakko. Gadis yang sudah
bagaikan adiknya ini, adalah anggota Unit Khusus GHOST Shi Sei Jyu, sama seperti dirinya.Tingginya tidak lebih dari 150
cm, seukuran anak SD atau SMP. Namun tubuhnya sudah dirombak total sehingga
nyaris kehilangan kemanusiaannya. Gadis berambut hitam seleher ini—adalah
senjata pembunuh berjalan yang sangat mahir menggunakan senjata tajam dan jarak
dekat lainnya.
“Hei, Byakko.”
“Jangan panggil aku begitu. Kita sedang tidak bertugas…
Lagipula, Thomas tidak ada di sini,” gadis itu menjawab tanpa melihat Seiryu.
Seiryu menghela nafas, “Okelah… Shen.”
Saat itu, Byakko berbalik menghadap Seiryu, dengan senyum
lebar terpasang di bibirnya yang kecil, “Ya?”
“Menurutmu… Kalau kau mendapatkan takdir yang berbeda, akan
jadi seperti apa hidupmu?”
Byakko terdiam sejenak sebelum menjawab, “Maksudmu kalau aku
tidak berada di Shi Sei Jyu?”
“Ya.”
Byakko menutup kedua matanya, seakan sedang berpikir berat.
“Entahlah. Aku tidak punya bayangan.”
“Benarkah?”
“Imajinasiku tidak terlalu bagus sih,” katanya, masih dengan
senyum di bibirnya, “aku… tidak bisa membayangkan hari-hari yang kosong,
hari-hari dimana kita tidak berada di medan
perang… Aku hanya tidak bisa membayangkannya sama sekali.”
Seiryu tidak bicara. Ia diam, sambil menatap langit yang
berbintang. Di kota yang baru saja dijadikan medan perang ini, sebagian
besar lampu mati, sehingga bebas polusi cahaya. Langit di sudut dunia yang
biasanya gelap gulita itu, sekarang gemerlapan bagaikan sebuah konser musik
yang megah.
“Tatsuki sendiri, membayangkan hidup yang seperti apa?”
Di langit itu, Seiryu seakan bisa melihat kilatan cahaya
hijau, yang mirip zamrud—
“…Entahlah. Aku juga tidak bisa membayangkannya.”
***