Rudi merasakan seluruh hidupnya hancur. Satu-satunya perempuan yang Ia cintai menduakannya. Lebih parah lagi ketika Ia mengetahui kalau hal itu sudah terjadi sejak berbulan-bulan yang lalu. Selama mereka bersama, Rudi mengorbankan semuanya demi perempuan itu. Mau itu pakaian, perhiasan, makanan mewah, Rudi selalu berusaha memenuhi kebutuhan kekasihnya.
Rudi mulai curiga ketika kekasihnya sempat terlihat oleh
teman Rudi, berjalan berdua dengan seorang lelaki. Tidak hanya sekali namun
berkali-kali. Awalnya Rudi mencoba menghapus prasangka buruk, namun usaha itu
percuma setelah kekasih Rudi tiba-tiba mengirim SMS kepada Rudi yang mengatakan
bahwa Ia ingin putus. Detik itu juga, jantung Rudi serasa berhenti. Ia tidak
menyangka Ia akan dikhianati orang yang paling dicintainya.
Setelah minta ijin untuk pulang, Rudi sekarang duduk di
bangku taman dekat kantornya., menanti bus. Di saku Rudi tersimpan sebuah
revolver yang Ia beli beberapa tahun lalu. Dengannya Ia
berniat melubangi kening mantan kekasihnya beserta selingkuhan kekasihnya itu.
Tindakan ini terinspirasi dari salah satu film barat favoritnya. Namun bedanya
di film itu sang lelaki tidak jadi menembak istrinya yang berselingkuh. Rudi
memutuskan dirinya tidak akan gentar. Ia bersumpah akan membuat kekasihnya
menyesal melakukan ini.
Beberapa menit kemudian bus yang ditunggu Rudi muncul. Rudi
baru saja akan bangkit dari tempat duduknya ketika seorang gadis kecil dengan
seragam SD tidak menghampirinya.
“Om, Om. Om
tahu nggak kemana Ibuku pergi?”
Rudi kebingungan mendengar pertanyaan anak itu.
“Dasar Ibuku itu… sukanya ngeluyur nggak bilang-bilang. Om,
mau bantu aku cari Ibuku?”
Rudi awalnya ingin menolak, namun melihat wajah polos anak
itu Rudi tidak tega membuatnya kecewa. Rudi pun menyanggupi untuk membantu anak
itu, meskipun itu berarti Ia harus menunggu bus berikutnya.
Rudi berpikir, tak ada salahnya menolong orang terakhir
kalinya sebelum masuk penjara. Rudi pun mengajak anak itu berjalan ke air
mancur di tengah taman tempat orang-orang berkumpul.
Di depan air mancur gadis kecil itu mulai menjauh dari Rudi
dan berjalan kesana kemari. Ia melihat wajah ibu-ibu yang ada di sana satu demi satu,
mencoba mengenali salah satu wajah itu. Rudi pun agak kerepotan mengejarnya. Saat
itu juga, bersebrangan dari tempat Rudi terlihat seorang wanita yang sepertinya
sedang mencari-cari sesuatu. Di bahunya selain sebuah tas wanita, tergantung
pula tas sekolah yang sepertinya milik seorang anak SD. Rudi menyimpulkan
wanita itu adalah orang tua gadis kecil yang bersamanya ini. Dengan segera Rudi
menggandeng tangan gadis itu dan membawanya ke wanita itu. Detik ketika wanita
itu melihat si gadis kecil, Ia langsung menghampiri gadis itu dan memeluknya
“Lisa!”
Gadis kecil itu awalnya kelihatan kaget, namun setelah itu
Ia tersenyum.
“Dasar, Ibu ini kemana saja, sih! Aku repot nih
mencari-cari!”
“Kamu itu, kan
kamu yang berpisah dari Ibu! Kok malah Ibu yang kamu salahkan?!”
Ibu dan anak itu terus berdebat sementara Rudi hanya bisa
melongo melihat mereka. Gadis kecil itupun kemudian melihat Rudi dan
menghampirinya.
“Om, terima kasih sudah
menemaniku ya. Berkat Om, aku bisa ketemu ibuku! Nggak kepikir deh gimana kalau
aku nggak bisa ketemu ibuku!” kata gadis itu sambil tersenyum lebar.
Ibu gadis itu pun juga berterima kasih, “Maaf ya, kalau
anak ini merepotkan anda,” kata Ibu itu. Rudi menggeleng dan berkata tidak
masalah.
Ibu dan anak itupun pamit. Sampai mereka sudah mendekati
halte bus, gadis kecil itu masih melambai ke arah Rudi dengan gembira. Rudi
tersenyum kecil.
Entah kenapa saat itu Rudi teringat keluarganya. Karena
sibuknya pekerjaan Rudi, sudah tiga tahun Ia tidak pulang ke kampung halaman.
Kapan terakhir kali Ia mendengar suara Ibu dan ayahnya? Adik perempuannya? Rudi
tidak bisa mengingat dengan jelas. Namun, semua sudah terlambat. Rudi sudah
memutuskan untuk ‘putus hubungan’ dengan mereka dan menyelesaikan urusan dengan
mantan kekasihnya.
Rudi pun kembali ke bangku yang tadi, dan menyadari bahwa
tempat itu sudah bukan eksklusif untuknya. Seorang siswi SMA berambut seleher
duduk di sana.
Tubuhnya kelihatan lemas. Rudi pun menghampirinya dan duduk di sebelahnya.
“Ah? Oh… Maaf… Aku kira bapak sudah mau pergi… Jadi kupakai
tempat duduknya…” Siswi itu kaget ketika menyadari Rudi duduk di sebelahnya.
Setelah Rudi memperhatikan dengan seksama Ia mengenali
siswi itu. Ketika Rudi sampai di taman ini, siswi itu sudah berada di sana, mondar-mandir
mengelilingi taman. Rudi pun akhirnya bertanya kepada gadis itu, apa gadis itu
menunggu seseorang?
“Eeeh? K-kok tahu… Sepertinya aku jadi kelihatan mencolok
ya, berjalan kesana kemari,” kata siswi itu sambil tersipu malu, “Aku sudah di
sini dari satu jam yang lalu. Aku menunggu temanku.”
Rudi terkejut mendengar siswi itu. Kenapa Ia
mau menunggu selama itu? Bukankah jika sudah selama itu berarti temannya tidak
akan datang?
“Eh… Iya juga sih… Aku dan temanku itu akhir-akhir ini
jarang keluar bersama. Aku ingin sekali mengajaknya pergi. Ketika Ia
mengajakku tadi waktu istirahat, aku senang sekali… Namun akhirnya Ia
sepertinya meninggalkanku. Hehehe… Aku memang menyedihkan. Permisi yah, aku
pulang dulu…”
Sebelum siswi itu berdiri, Rudi yang merasa tidak enak,
menghentikannya. Ia menyuruh siswi itu setidaknya menunggu lima menit lagi.
“Begitu…? Baiklah,”
Siswi itu kembali duduk. Ia dan Rudi terduduk diam selama
dua menit, hingga suara seseorang terdengar memanggil.
“Sherly! Untung kamu masih di sini!” Seorang siswi lain
dengan seragam yang sama menghampiri bangku Rudi, “kusangka kau sudah pulang!”
“Lho… Melinda?”
“Maaf, tadi ada rapat OSIS mendadak. Baterai HP-ku habis,
jadi aku nggak bisa memberi kabar. Aku sangka kau sudah pulang…”
“Ah… Oh… Begitu? Eh…ehehehe… Aku tadinya sudah kepikiran
mau pulang sih.”
“Hahaha… Gimana? Jadi kan?”
“I-iya!” Sherly dengan sigap berdiri dari bangku. Ia
kemudian menengok ke arah Rudi.
“E-emm… Terima kasih ya,” katanya dengan senyum lebar. Kemudian Ia
dan Melinda pergi dari taman itu. Rudi menghela nafas lega. Ia tidak tahu
kenapa tiba-tiba Ia jadi menolong semua orang.
Di sudut pikirannya yang lain Rudi mengingat teman-teman
kantornya. Sejak Ia mulai berpacaran, Rudi selalu menolak
ajakan teman-teman kantornya untuk pergi makan-makan bersama. Meski begitu Rudi
bersyukur mereka tetap mau membantu Rudi menghadapi segala jenis permasalahan.
Rudi berpikir, suatu hari harusnya Ia ikut lagi dengan teman-temannya. Namun
sedetik kemudian Ia sudah ingat hal yang harus Ia lakukan hari ini. Rudi yang
menyadari Ia tidak akan bisa membalas budi teman-temannya, menghela nafas
panjang.
Suara mesin bus terdengar dari kejauhan. Ketika Rudi
menengok, sudah terlambat. Bus itu sudah meninggalkan halte. Rudi pun mulai
merasa jengkel. Ia akhirnya memutuskan untuk duduk di kursi halte, meskipun di sana tidak terlalu teduh.
Ketika Ia sampai di halte, sesuatu yang tak terduga
memasuki ruang pandang Rudi. Seorang lelaki berpakaian lusuh duduk di samping
halte bersama dengan belasan pigura yang ditata dengan agak berantakan. Mata
Rudi terbelalak ketika Ia melihat apa yang tergambar di pigura-pigura itu.
Lukisan. Berbagai macam. Abstrak, kubisme, surealisme. Segala
jenis warna bercampur. Langit dan bumi tak terpisahkan. Matahari kembar.
Hal-hal yang sangat dimengerti Rudi.
Ya, Rudi memiliki hobi melukis, setidaknya sebelum Ia mulai
berpacaran. Meski Ia tidak pernah mencoba menghasilkan uang
dengan lukisannya, beberapa karyanya sempat bertengger di beberapa galeri. Rudi
sangat bangga terhadap hobinya itu.
Namun kemana mereka pergi? Sejak Rudi mulai mengalihkan
perhatiannya, apa saja yang terjadi pada alat-alat lukisnya?
Lukisan-lukisannya? Mungkinkah sekarang mereka menumpuk debu di gudang? Apa
yang terjadi pada cinta Rudi terhadap semua itu?
Rudi kemudian menyadari Ia telah kehilangan ‘hidupnya’.
Selama dua tahun Rudi melupakan keluarga, teman, dan hobinya, hanya untuk
melayani seorang wanita. Rudi membuang hal-hal yang berharga untuk sebuah cinta
yang semu. Ia melupakan hal-hal lain
yang bisa dilakukannya dalam hidup. Karena itulah Ia sangat terpukul ketika Ia
kehilangan kekasihnya, karena itulah satu-satunya hal yang membuatnya ‘hidup’.
Mengorbankan hidup untuk cinta memang kelihatan terhormat
dan romantis, namun di sisi lain—setidaknya bagi Rudi—hal itu juga bisa
dibilang bodoh. Sangat bodoh.
“Bang, kau nggak apa-apa?”
Rudi kaget mendengar si penjual lukisan memanggilnya. Rudi
sepertinya baru saja tidak bergerak selama beberapa menit, tentu saja itu
membuat orang bertanya-tanya. Rudi kemudian berkata Ia tidak apa-apa, dan
kembali berjalan ke dalam halte.
Sesaat setelah Rudi duduk di dalam halte, bus yang Ia
tunggu-tunggu datang. Pintu sudah terbuka, namun Rudi tak bergeming. Ia
menggenggam revolver di kantongnya dengan erat. Jantung yang tadinya bergemuruh
sekarang menjadi tenang. Pikiran yang tadinya beterbangan hingga kemana-mana,
sekarang menjadi fokus. Rudi tetap duduk tenang hingga bus yang ditunggunya
berlalu.
Rudi menyadari sekarang Ia berada di skenario yang sama
seperti di film favoritnya. Ia tidak bisa menarik pelatuk revolver itu. Apa
yang akan Ia dapatkan dari hal itu? Hanya rasa puas yang hampa. Apa Rudi harus
menyerahkan seluruh hidup dan karirnya untuk satu kepuasan itu, ketika di sisi
lain ada bagian hidupnya yang bisa Ia ambil kembali? Tentu tidak, pikir Rudi.
Rudi berdiri. Iapun keluar dari halte itu dan berjalan ke
si penjual lukisan. Kemudian Rudi membeli lukisan minyak bergambar jembatan
yang terpajang di barisan paling depan. Si penjual terkejut karena Rudi
memberikan uang berlebih dari seharusnya. Si penjual berusaha mengembalikan
uang itu, namun Rudi menolak dengan halus.
“Ambil saja kembaliannya,” kata Rudi, tersenyum. Sambil
membawa lukisan yang dibelinya, sosok lelaki itupun berjalan menjauh, menuju ke
arah terbenamnya matahari.
***
sarat pesan moral ya? hehehe.
BalasHapusYo ngono kuwilah. Hehehe.
BalasHapusthat's cool :)
BalasHapus