Rain of Dust - Chapter 1





3 Maret, pukul 10.00

Wolfgang Kelly baru saja menapakkan kakinya di Kota San Cielo. Ia adalah seorang pemburu bayaran. Kedatangannya kemari karena Wolfgang mendapatkan misi dari International Bureau of Investigaton. Perintah pertamanya adalah untuk pergi ke hotel tempatnya menetap untuk sementara.

Sesampainya di kamar hotel, Wolfgang langsung merebahkan tubuhnya ke kasur, “Huah, akhirnya sampai juga,” Katanya sambil menghela nafas.
Wolfgang berniat untuk tidur kalau saja ia tidak mendengar suara ketukan di pintunya.
Room service~
Wolfgang bangkit, “…Aku tidak memesan apapun…?” Kemudian ia membukakan pintu.
Yang berdiri di baliknya adalah Raulia.
“Tehe~”
“Sedang apa kau di sini…?”
“Jangan kaku begitu, Wolf. Kita sudah lama tak bertatap muka bukan?” Kata Raulia sambil memasuki kamar Wolfgang tanpa disuruh.
“Tepatnya setahun. Aku tidak ada niat untuk menghentikan rekor itu.”
“Aah, kau dingin sekali~” Raulia duduk di kasur, “Konon katanya pertemuan seperti inilah yang semakin mengeratkan hubungan antar manusia loh.”
“Cukup omong kosongnya. Kenapa kau kemari?” Ujar Wolfgang tanpa ekspresi.
“Kau selalu to the point yah. Aku kemari untuk memberitahukanmu tempat pertemuan dengan agen IBI yang sudah kemari sebelum kau.”
“Tempat pertemuan?”
“Ya. Para agen yang sudah berada di kota ini akan menunggumu di sana.”
Raulia mengambil secarik kertas dari notebook dan pensil yang tergeletak di meja kamar, “Biar kutuliskan alamatnya…”
Sementara Raulia sibuk menulis, Wolfgang berjalan ke arah jendela. Ketika Wolfgang ingin menikmati panorama dari lantai dua puluh itu, Raulia mulai bicara lagi.
“Aku masih cukup kaget, kau menerima pekerjaan ini. Biasanya kau tidak tertarik dengan misi-misi seperti ini. Kau lebih suka berburu target kan? Kenapa kau memutuskan untuk mengambil misi ini, Wolf?”
Wolfgang menggaruk lehernya, “…Tidak ada alasan khusus. Lagipula, upahnya besar.”
“Kau benar sekali di bagian itu. Kalau misi ini berhasil, kita bisa libur setahun!”
Wolfgang kemudian mengalihkan pandangannya ke jendela. Sebenarnya, Wolfgang punya alasan lain mengapa ia menerima pekerjaan ini. Ia mendapatkan sebuah firasat yang aneh. Firasat bahwa misi ini menghubungkan dirinya dengan masa lalunya—
“Selesai!” Raulia bangkit dari tempat tidur dan menyerahkan sehelai kertas tadi ke Wolfgang. Di kertas itu tertulis sebuah alamat.
“Baiklah kalau begitu, aku pergi dulu,” Ujar Raulia sambil berjalan menuju pintu.
“Segera beritahu aku jika ada sesuatu,” Kata Wolfgang.
Yes, Sir!”
Raulia pun berlalu. Wolfgang menutup pintu kamarnya. Ia kemudian kembali berbaring di kasur sambil terus menatap kertas yang diberikan Raulia. Tertulis bahwa pertemuannya masih sebelas jam dari sekarang.
“…Semoga firasatku kali ini benar,” Gumam Wolfgang, “Kurasa aku akan mulai pencarianku saat ini.”
Wolfgang kemudian meletakkan kertas itu di meja, dan berjalan keluar kamar. Mengendarai lift ia turun ke lantai dasar, lalu keluar dari hotel.
Sinar matahari yang terik menyambut Wolfgang. Trotoar dipenuhi oleh orang-orang berlalu lalang, dari muda maupun tua. Wolfgang memutuskan untuk masuk ke dalam arus manusia itu, berjalan tanpa arah. Memulai pencariannya, Ia memasuki cafe demi cafe, restoran demi restoran, kantor polisi dan beberapa tempat lain. Namun sayangnya tidak menghasilkan apapun juga. Ia nyaris menyerah ketika mencapai sebuah cafe bernama Birdcage.
Memasuki café kecil itu, Wolfgang langsung duduk di meja di depan barista. Penampilan  kafe itu sangatlah unik. Di langit-langitnya, tegantung banyak kandang yang berisi berbagai jenis burung, dari yang kelihatan normal hingga yang berbulu warna-warni. Kicau burung-burung itulah yang menjadi musik yang memenuhi kafe itu.
Cappuccino,” Katanya kepada barista.
Hanya dalam beberapa detik saja, cappuccino sudah berada di depan Wolfgang.
“Silakan.”
Wolfgang menyeruput sedikit dari cappuccino itu. Ia bisa merasakan campuran susu dan espresso yang sempurna menyerbu indera perasanya.
“Woah, ini hebat. Nikmat sekali.”
Sang Barista tersenyum, “Terima kasih. Syukurlah anda menikmatinya.”
Wolfgang kemudian memutuskan untuk melakukan pencarian di café ini. Ia merogoh kantongnya, mengambil sebuah foto.
“Hei Barista.”
“Ya?”
Wolfgang pun menunjukkan foto itu pada sang barista. Foto seorang gadis kecil—mungkin berusia 12-13 tahun. Wajahnya putih bersih, dan rambutnya yang kecoklatan terurai hingga pinggulnya.
“Ini foto lama, namun kurasa sosoknya tidak jauh beda dari foto ini. Apa kau pernah melihat gadis ini?” Tanya Wolfgang.
Sang Barista berhenti menggosok cangkir dan mengamati foto yang ditunjukkan oleh Wolfgang. Kemudian, ia tersenyum tipis.
“Percayakah kau kalau aku bilang aku pernah melihat gadis itu?”
Wolfgang tanpa sadar memukul meja, “Kau serius!?”
Barista itu kembali menggosok cangkir, “Seperti katamu, ia kelihatan lebih tua. Namun aku cukup yakin dia gadis yang kau cari.”
“Dimana dan kapan kau pernah melihatnya?”
“Beberapa hari yang lalu, ketika hujan debu terjadi.”
“Hujan debu….?”
“Anda tahu bukan? Yang membuat orang-orang pingsan tanpa alasan,” Barista itu meletakkan cangkir yang ia gosok, dan mengambil cangkir lain.
“Aku cuma dengar di berita saja. Lalu, dimana kau melihatnya?”
“Agak jauh dari sini, daerah bagian barat kota, aku melihatnya berjalan tanpa arah. Karena waktu itu sudah sepi, sosoknya sangat menarik perhatian. Seorang gadis berjalan sendirian di malam hari… Aku rasa ia akan menarik perhatian siapapun juga. Rambutnya jauh lebih panjang dari pada yang ada di foto anda. Melihat dari postur tubuhnya, kurasa ia berusia sekitar tujuh belas tahun.”
Apa dia benar-benar ada di kota ini? Pikir Wolfgang. Meskipun dengan pernyataan sang Barista berambut panjang itu, Wolfgang masih ragu.
“Apa aku boleh tahu,” sang Barista menyadarkan Wolfgang dari lamunan, “siapa gadis itu?”
“Adikku.”
“Namanya?”
“Helena. Helena Kelly,” Jawab Wolfgang sambil mengalihkan wajahnya.
“Nama yang indah.”
Wolfgang mengelus dagunya. Ia memang belum tahu kepastiannya, namun ia bahagia karena setidaknya ada kemajuan dalam pencarian adiknya.
“…Okelah kalau begitu.”
Wolfgang pun menghabiskan cappuccino-nya, membayarnya, dan berdiri.
“Terima kasih.”
“Itu kata-kataku. Trims infonya,” Wolfgang pun berjalan keluar café.
Wolfgang melirik jam tangannya. Masih sembilan jam sebelum waktu pertemuan. Ia pun memutuskan untuk kembali ke hotel dan tidur.


***

3 Maret, pukul 20.30

Ketika Wolfgang selesai mandi, waktu pertemuan hanya tinggal setengah jam lagi. Setelah berpakaian, iapun segera berangkat.
Menyusuri jalanan kota di malam hari, keadaan sudah cukup sepi. Tidak seperti New York, San Cielo adalah kota yang tidak terlalu besar, sehingga tidak aneh jika jalanan sudah jarang orang pada waktu sekarang ini. Wolfgang pun merasakan hawa dingin dari angin yang berhembus. Meskipun saat ini seharusnya sudah musim semi, masih ada sisa-sisa dari musim dingin beterbangan.
Mengikuti alamat yang tertulis di kertas yang diberikan Raulia, Wolfgang sampai di depan sebuah gedung kuno. Di depannya, berdiri seorang gadis kecil. Karena tidak ada orang lain di sana, Wolfgang pun menghampiri gadis itu.
“Hei, kau.”
“Ah, iya?”
“Jangan bilang kalau kau agen yang sudah menungguku….”
Gadis itu tersenyum kecil, “Jadi anda yang dikirim pusat? Aku Agen Lyncreya von Pluet. Perkenalkan.”
Wolfgang memijat hidungnya, “Seorang anak kecil…?”
Melihat sosok Lyncreya, Wolfgang tidak habis pikir. Gadis itu kelihatan kotor dan kumal, seakan ia sudah tidak mandi berhari-hari. Kemejanya penuh debu dan compang-camping. Rambutnya kelihatan acak-acakan. Dari wajahnya terpancar kelesuan yang sangat jelas. Awalnya Wolfgang berniat berkomentar, namun ia mengurungkan niatnya.
“Anu, silakan ikuti aku. Kita akan ke tempat di mana yang lainnya menunggu,” Gadis bernama Lyncreya itu mulai berjalan. Wolfgang pun dengan setengah hati mengikutinya.
Semakin jauh mengikuti Lyncreya, Wolfgang menyadari mereka semakin menjauh dari keramaian, masuk ke gang-gang sempit yang kumuh. Wolfgang juga merasa ia sedang diawasi dari kejauhan. Meski demikian, Wolfgang tetap mengikuti Lyncreya hingga mereka sampai di sebuah jalan buntu.
“Hm? Apa kita salah jalan?”
Lyncreya tidak menjawab. Ia hanya terdiam. Wolfgang bisa melihat punggung gadis kecil itu gemetar.
Tiba-tiba Lyncreya berbalik dan berseru, “Lari dari sini, Tuan Kelly! Ini jeba—”
Sebelum Lyncreya bisa menyelesaikan kata-katanya, dari bawah muncul sebuah tangan raksasa dari tanah  yang langsung menggenggam tubuh Lyncreya. Tanah di sekitarnya terus naik hingga membentuk manusia yang tingginya sekitar dua meter.
Golem ya? Pikir Wolfgang. Ia langsung memeriksa sekitarnya. Di ujung gang, seorang lelaki kurus berjalan mendekat.
“Haah, sudah kubilang, jangan berulah, anak kecil,” Kata lelaki itu sambil terus mendekat, “tapi setidaknya kau sudah membawa target kemari. Kurasa itu lumayan bagus untukmu.”
Golem dibelakang Wolfgang itu sepertinya mengencangkan genggamannya. Lyncreya mengerang kesakitan. Wolfgang membayangkan, mungkin cuma butuh beberapa detik untuk menghancurkan tubuh gadis kecil itu.
“Tidak perlu khawatir, aku takkan membunuhnya, selama kau tidak macam-macam. Aku cuma mau melakukan pertukaran,” Kata lelaki itu pada Wolfgang, “Aku ingin orang-orang pemerintahan tidak mengganggu rencana kami di kota ini. Kau hanya perlu melapor kepada atasanmu bahwa tidak ada apapun yang terjadi di kota ini. Kau bisa melakukan itu kan? Lagipula, pilihanmu cuma itu, kalau kau tidak ingin gadis kecil itu remuk.”
Wolfgang pun membuka mulutnya, “Heh, merepotkan saja. Aku punya pilihan lain tahu.”
Lelaki pengendali golem itu mengernyitkan dahi, “Apa?”
“Ini,” Wolfgang dengan cepat berbalik dan memukul golem di belakangnya. Tubuh Golem itupun hancur seketika, menjatuhkan Lyncreya yang ada di genggamannya.
“G-golemku hancur dengan satu pukulan? T-t-tidak mungkin!” Lelaki itu terbelalak. Ia menghentakkan kakinya dua kali, dan muncullah dua golem berukuran manusia normal di depannya. Kedua golem itu langsung berlari ke arah Wolfgang, mencoba menghantamnya dengan tangan batu mereka.
Wolfgang tentunya tidak cuma diam. Ia memasang kuda-kuda, dan melesat maju. Ia menghindari pukulan golem pertama dengan memundurkan tubuh bagian atasnya. Kemudian, Ia menghantam golem itu dua kali di sisi kanan dan kiri, kemudian melancarkan jab cepat tepat di tengah-tengah wajah golem itu, menghancurkannya berkeping-keping. Kemudian, menghadapi golem yang satu lagi, Wolfgang tidak berlama-lama. Ia menunduk, kemudian melancarkan uppercut dengan keras, langsung meremukkan tubuh golem itu. Iapun berhadapan langsung dengan lelaki pengendali golem.
Lelaki itu melihat pemandangan di depannya dengan mulut menganga. Ia kemudian melompat mundur, dan meletakkan tangannya di tanah.
Full Reinforcement!”
Lantai di bawah lelaki itu perlahan-lahan naik dan membentuk sosok manusia raksasa, kali ini tingginya sekitar tiga meter, dan tubuhnya lebih lebar. Batuan yang menyelimutinya terlihat keras, bagaikan baju baja yang melindunginya. Lelaki pengontrol golem itu berdiri di bahu golem itu.
“Makan ini, anjing pemerintah!”
Golem itu mengepalkan tangannya, kemudian melancarkan pukulan ke arah Wolfgang. Tanpa bergidik sedikitpun, Wolfgang juga melakukan hal yang sama ke arah golem itu. Tinju mereka beradu di udara. Sedetik kemudian, tangan Golem itupun hancur berkeping-keping.
“T-tidak mungkin!”
Lelaki itupun kehilangan tempat pijakan dan terjatuh. Wolfgang dengan cermat memperhitungkan timing lelaki itu jatuh, kemudian melompat ke depan, tepat berhadapan dengan wajah lelaki itu. Lalu, Ia memukul wajah lelaki itu dengan pukulan overhead. Kena telak, lelaki itu terhempas ke lantai dan terlempar ke belakang.
“Aaargh…” Lelaki pengendali golem itu mengerang kesakitan. Ia menutupi wajahnya yang penuh darah.
“Tenang saja, aku sudah mengurangi tenagaku. Kau tidak akan mati. Orang sepertimu tidak boleh mati begitu saja. Kau harus menjalani penyiksaan dulu,” Kata Wolfgang dengan tenang.
“Sialan… Sialan!”
Lelaki pengendali golem itu tiba-tiba bangkit dan menghentakkan kakinya. Muncul golem yang membopongnya, kemudian golem itu melompat ke atas gedung, melarikan diri bersama pengendalinya.
“Huh… Masih bisa bertingkah juga ia…” Sedikit kecewa, Wolfgang berbalik. Ia bisa melihat Lyncreya yang tergeletak tak berdaya.
Entah mengapa, melihat sosok yang tak berdaya itu mengingatkan Wolfgang pada  masa lalu, pada seorang bocah lelaki yang ia kenal. Pada seseorang yang sudah melewati berbagai penyiksaan dan penderitaan. Pada seseorang yang sudah tidak memiliki harapan dalam hatinya. Didorong segala perasaan itu, Wolfgang pun memutuskan untuk menolong gadis itu.

***

Posted in , , . Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.