4 Maret, pukul 10.00
Pemandangan pertama yang Lyncreya lihat adalah langit-langit
yang tidak ia kenali. Lampu yang dipenuhi ukiran di pinggirnya menyala dengan
terang. AC yang dinginnya merambat ke seluruh bagian tubuhnya. Ia bisa
mendengar suara televisi yang cukup keras. Iapun mencoba untuk duduk dengan
susah payah. Ia melihat siluet lelaki yang menonton televisi yang menyiarkan
sebuah pertandingan tinju.
“Oh, sudah bangun ya?”
“Eh….?”
Rupanya yang menonton televisi adalah Wolfgang Kelly—lelaki
yang dijebak olehnya kemarin malam.
“Tuan Kelly? Aku… Apa yang…”
Perlahan, Lyncreya mengingat apa yang terjadi kemarin malam.
Ketika ia memancing Wolfgang ke jebakan, ketika tubuhnya hampir remuk karena
golem, ketika ia samar-samar melihat Wolfgang yang bertarung—
“Maaf kalau suara televisinya membangunkanmu. Kalau kau mau
tidur lagi, akan kukecilkan suaranya,” Kata Wolfgang sambil terus menonton
televisi.
“Anda… menolongku?”
Wolfgang menggaruk kepalanya. Matanya masih terpusat ke
televisi, “Sebenarnya aku mau membawamu ke rumah sakit. Namun sepertinya lukamu
tidak terlalu parah. Rumah sakit terlalu jauh, sehingga kuputuskan untuk
membawamu kesini.”
Lyncreya terdiam. Ia kemudian mengingat apa saja yang sudah
terjadi beberapa hari ini. Dirinya yang tak berdaya menyebabkan kematian
rekan-rekannya dan mentornya, serta nyaris menjebak Wolfgang. Kepercayaan
dirinya runtuh. Tanpa sadar ia mulai meneteskan air mata.
“Uuuh…”
Wolfgang yang tadinya serius menonton seketika menjadi kebingungan ketika mengalihkan pandanganya kepada Lyncreya yg sedang menangis.
“W-wah?! Kenapa kau menangis?”
“Aku benar-benar tidak berguna… Aku tidak bisa melakukan
apa-apa… Yang bisa kulakukan hanya membiarkan orang lain terluka… Aku
benar-benar payah…”
Wolfgang menghela nafas, “…Kau tidak perlu merasa bersalah
seperti itu.”
“Eh?”
“Setiap orang pernah melakukan kesalahan, profesional
sekalipun. Hal itu sangatlah normal. Kau harus bisa memaafkan dirimu sendiri,
dan berusaha untuk jadi lebih baik dari masa lalu. Itu saja cukup,” Kata
Wolfgang.
Lyncreya mengusap air matanya, “…Benarkah?”
“Ya,” Jawab Wolfgang singkat.
Suasana kamar pun menjadi hening. Wolfgang kembali menonton
pertandingan tinju di televisi dengan serius. Sementara Lyncreya terdiam, tidak
tahu harus berkata apa. Iapun kembali berbaring di tempat tidur.
Setengah jam kemudian, Wolfgang bangkit dari tempat
duduknya. Sepertinya pertandingan yang ia tonton sudah usai. Ia membuka lemari
dan mengambil sebuah jaket berwarna abu-abu.
“Eh? Anda mau pergi?” Tanya Lyncreya.
“Semalam aku dihubungi oleh atasanmu. Katanya ia ingin
menemuiku, membahas masalah misi,” Wolfgang menjawab seraya mengenakan
jaketnya.
“A-anu! Bolehkah kalau aku ikut?”
“Boleh saja. Tapi kurasa lebih baik kalau kau mandi dulu dan
mengganti pakaianmu.”
“Eh?” Lyncreya kemudian menyadari ia hanya mengenakan t-shirt. Wajahnya tiba-tiba memerah, “T-tuan
Kelly, anda yang…”
“Pakaianmu dari tadi malam sangat kotor. Kau bisa pakai
pakai ini,” Wolfgang mengambil sebuah bungkusan plastik dan melemparnya ke
kasur. Lyncreya membukanya, didalam terdapat jaket jumper dan celana jeans.
“Aku menyuruh rekanku untuk mengambilkan baju yang pas
untukmu.”
Wajah Lyncreya masih merah merona, “K-kalau begitu aku akan
mandi dulu…” Katanya sambil berjalan melewati Wolfgang dan masuk ke kamar
mandi.
Di bawah siraman shower,
Lyncreya berpikir dirinya sangat beruntung ditolong oleh Wolfgang. Namun, ia juga ragu pada nasibnya setelah
ini. Misinya gagal total. Rekan-rekannya juga tewas.
Apa yang harus
kulakukan setelah ini…? Pikir Lyncreya.
Beberapa menit kemudian, Lyncreya mengenakan pakaian yang
diberikan Wolfgang dan keluar dari kamar mandi.
“Ukurannya tidak kebesaran, kan?”
Lyncreya melambaikan tangannya, “Tidak, tidak sama sekali.”
“Bagus kalau begitu. Ayo berangkat,” Ujar Wolfgang sambil
berjalan menuju pintu kamar, diikuti Lyncreya.
***
4 Maret, pukul 12.30
“Kenapa kafe ini sih… Yah, tapi setidaknya cappuccino-nya enak.”
“Eh? Ada
apa, Tuan Kelly?”
“Tidak, tidak apa…” Wolfgang menjawab dengan nada malas.
Lyncreya melihat papan nama kafe yang bertuliskan ‘Birdcage’. Eksteriornya mengingatkan Lyncreya pada rumah-rumah di
Inggris yang kecil namun kelihatan indah dan rapi.
“Oooi! Wolf!” Tiba-tiba terdengar seseorang memanggil
Wolfgang. Seorang wanita berambut bob
yang mengenakan sweater merah. Ketika
wanita itu melihat Lyncreya, ia tersenyum, “Bagaimana? Bajunya tidak kebesaran kan?”
“Eh? Uhm, tidak…”
Lyncreya menatap Wolfgang dengan ekspresi bingung.
“Dia yang membawakanmu pakaian itu. Dia juga yang melepas
bajumu,” Kata Wolfgang.
“Oh,” Lyncreya sedikit terkejut, kemudian menghadap wanita
itu, “Terima kasih atas bantuannya.”
Wanita itu melambaikan tangannya, “Ah, bukan hal besar. Tenang
saja. Oh iya, lupa memperkenalkan diri. Namaku Raulia McFayt, ‘manager’
Wolfgang.”
“’Manager’?” Lyncreya memiringkan kepalanya.
“Singkatnya, aku yang menghubungkan Wolf pada klien.”
“Ooh, begitu…” Lyncreya mengangguk, “Aku, ehm…”
“Lyncreya von Pluet, bukan? Aku sudah dengar dari Wolf,” Raulia
memotong kata-kata Lyncreya, “Salam kenal yah,” Raulia mengajak Lyncreya
berjabat tangan. Awalnya, Lyncreya agak ragu, namun kemudian ia menyambut
tangan Raulia.
“Oi, apa mereka sudah di sini?” Celetuk Wolfgang.
“Ah, sudah, sudah. Mereka sudah datang beberapa menit yang
lalu,” Raulia menunjuk ke arah kafe.
“Begitu. Kalau begitu, ayo kita masuk,” Kata Wolfgang pada
Lyncreya.
“Nona McFayt, kau tidak ikut masuk?”
Raulia menggelengkan
kepala, “Non, aku hanya penghubung
saja. Masalah misi, itu bagiannya Wolf. Aku pergi dulu yah~”
“Kabari aku kalau ada info baru.”
“Yes sir!” Seru
Raulia sambil berjalan menjauh.
Wolfgang dan Lyncreya pun memasuki kafe.
“Tuan Wolfgang,” Seseorang memanggil dari meja di tengah.
Seorang wanita berpakaian formal. Di belakangnya berdiri seorang lelaki tinggi
yang juga berpakaian formal. Setelah mendekat, Lyncreya mengenali wanita itu.
“Nona Mikawa!”
Wanita itu melambaikan tangannya, “Halo, Lyn.”
Ketika Wolfgang dan Lyncreya sampai di depan meja, Wanita
berambut hitam seleher itu bangkit dari tempat duduknya dan memeluk Lyncreya.
“Tentang Luciano dan yang lainnya, aku minta maaf Lyn. Aku
tidak bisa melakukan apa-apa.”
Lyncreya sedikit terkejut,”I-itu bukan salah Nona.
Meninggalnya Master dan yang lainnya… Itu salahku.”
Wanita itu melepas pelukannya, “Itu juga tidak benar, Lyn.
Kalau ada yang harus disalahkan, itu adalah seluruh bagian dari agensi,”
katanya sambil kembali ke tempat duduk.
“Eh…? Apa maksud anda?”
“Duduklah dulu. Kau juga, Tuan Wolfgang.”
“Aaah,” Wolfgang dan Lyncreya pun duduk.
“Sebelumnya, biar kuperkenalkan diriku dulu. Aku Azusa
Mikawa, agen spesial dari IBI. Di
belakangku ini pengawalku, Kenji Sakai. Sebelum kita mulai pembicaraan, apa
kalian berdua mau memesan minuman?”
“Ya,” Jawab Wolfgang singkat sambil melambaikan tangan pada
pelayan, “cappuccino satu. Kau mau
apa?”
“Eh? Em… Ice coffee,”
Jawab Lyncreya.
Beberapa menit kemudian pesanan Wolfgang dan Lyncreya
datang.
“Lyn? Aku minta maaf sebelumnya, tapi apa kau bisa
menjelaskan pada kami apa yang sebenarnya terjadi malam itu?” Kata Azusa ketika
Wolfgang dan Lyncreya sedang menerima minuman mereka.
Lyncreya menelan ludah,“…Ya, aku bisa menceritakannya.”
Kemudian Lyncreya pun menceritakan apa yang terjadi di malam
ia dan rekan-rekannya sampai di San Cielo. Bagaimana mobilnya disergap oleh
sekumpulan golem di jalanan yang sepi, bagaimana ia ditangkap oleh musuh, dan
bagaimana ia dijadikan sandera.
“…Maaf karena kau harus melewati semua itu,” Azusa bicara dengan nada
rendah, “Apa kau tidak mendapatkan nama penyihir pengendali golem itu?”
Lyncreya menggeleng.
“Bagaimana dengan anda, Tuan Wolfgang?”
“Sama.”
“Begitu ya…”
“Kau bilang semua ini disebabkan oleh agensi. Apa maksudmu?”
Tanya Wolfgang.
Azusa berdeham, kemudian
menjawab, “…Ada
mata-mata di dalam agensi.”
“Mata-mata…?”
“Ya. Merekalah yang memberi informasi pada para penjahat
bahwa ada agen yang dikirim ke San Cielo.”
“Kau kedengaran yakin sekali,” Kata Wolfgang, sinis.
“Tentu. Perlu kalian ketahui, kedatanganku kemari sangat
tiba-tiba. Orang-orang dari agensi sama sekali tidak mengetahui apapun.
Keberadaanku disini itulah yang membuatku yakin ada seseorang yang membocorkan
informasi dari sisi kami,” Jelas Azusa.
“Begitu. Lalu, apa rencana kalian untuk membuka kedok
mata-mata itu?”
Azusa
menyeruput mocca pesanannya dan
menjawab, “Kami tidak merencanakan untuk mencari mata-mata itu. Kami lebih
ingin konsentrasi pada pelacakan para kriminal di kota ini. Karena itulah kami sudah menyiapkan
rencana.”
Wolfgang mengernyitkan dahi, “Rencana?”
“Ya. Ada beberapa agen yang
akan datang ke kota
malam ini. Informasinya sudah tersebar. Itu akan memancing kemunculan para
kriminal.”
“Lalu? Kalau mereka sudah muncul?”
“Di saat itulah kami harus mengandalkanmu, Tuan Wolfgang.”
Mendengar itu, Wolfgang menghela nafas, “Begitu ya. Baiklah
kalau begitu.”
“Anu!” Lyncreya tiba-tiba memotong, “Apa aku boleh ikut
dalam operasi itu?”
Azusa
terkejut.
“Kau yakin, Lyn?”
“Ya!” Lyncreya kelihatan bersemangat,”Aku ingin memperbaiki
kesalahanku. Tolonglah, Nona Mikawa!”
Azusa
berpikir sejenak, dan menjawab, “…Baiklah. Tapi kau harus bersama Tuan
Wolfgang.”
Kali ini Wolfgang yang terkejut, “Hah?! Kenapa begitu?!”
“Karena untuk saat ini kau adalah pengawas Lyn,” Azusa mengendipkan sebelah
matanya.
“Keh…”
“M-maaf karena merepotkanmu, Tuan Kelly…” Ujar Lyncreya,
sedikit sedih.
“Yah, terserahlah…”
“Bagus kalau begitu. Operasi akan dimulai pukul 20.00 waktu
setempat. Informasi selanjutnya akan kusampaikan ke penghubungmu, Tuan
Wolfgang. Terima kasih,” Azusa
pun berdiri dan pamit pada Wolfgang dan Lyncreya, kemudian setelah membayar
minuman bersama pengawalnya iapun keluar
dari kafe.
Setelah menghabiskan minuman mereka, Wolfgang dan Lyncreya
berniat untuk membayar minuman. Namun sang Barista
tidak mau menerima uang mereka.
“Nona yang tadi sudah membayar minuman kalian,” Katanya.
Wolfgang dan Lyncreya pun keluar dari kafe.
“Kau mau kembali ke hotel?” Tanya Wolfgang pada Lyncreya.
“Em, tidak juga. Tuan Kelly sendiri mau kemana?”
“Aku ingin cari hiburan sejenak. Kau mau ikut?”
“Ke mana?”
“Ke daerah dermaga,” Kata Wolfgang sambil mulai berjalan.
Meski sedikit bingung, Lyncreya mengikutinya.
Menaiki bus selama lima belas
menit, mereka sampai di daerah dermaga kota.
Ketika berjalan di trotoar, Wolfgang menoleh ke sana kemari, seperti sedang mencari sesuatu.
Ketika mereka melewati gubuk kecil bertuliskan ‘pemancingan’, Wolfgang langsung
memasukinya. Lyncreya yang kebingungan, akhirnya ikut masuk. Wolfgang pun
menyewa joran dan mulai memancing.
“Kenapa? Apa kau juga ingin ikut mancing?”
Lyncreya menggelengkan kepala dan melambaikan tangan, “T-tidak.
Tidak usah…” Ia kemudian duduk di samping Wolfgang, “Apa ini hobimu, Tuan
Kelly?”
“Bisa dibilang begitu,” Jawab Wolfgang singkat.
Kemudian, situasi menjadi hening. Wolfgang terus
memperhatikan kailnya, sementara Lyncreya melamun, menatap laut. Yang memecah
keheningan pertama kali adalah Wolfgang.
“Jadi bagaimana? Apa perasaanmu sudah baikan?”
“Eh? Apa maksud anda?”
“Aku bisa melihatnya, sebelum bertemu dengan Nona dari IBI
tadi, kau kelihatan lesu. Sekarang kau kelihatan lebih bersemangat.”
Lyncreya tersenyum, “Itu karena aku mendapat kesempatan
untuk menebus kesalahanku. Seperti katamu tadi, aku tidak akan membiarkan hal
yang sama terjadi lagi.”
Wolfgang terdiam.
Lyncreya kemudian berkata, “Tuan Kelly, aku… Ingin berterima
kasih.”
“Tentang apa?”
“Tentang semuanya. Bagaimana kau menolongku yang seperti
ini, bagaimana aku merepotkanmu… Aku sangat berterima kasih.”
“Aku hanya menjagamu sejenak saja. Tidak masalah.”
Lyncreya mulai bercerita, “Keluargaku sedang dalam kondisi
yang buruk. Dua anak dari keluarga utama menghilang, dan salah satunya diduga
bekerja sama dengan seorang kriminal. Nama keluargaku sedang terkotori. Aku…
Meskipun berasal dari keluarga cabang, ingin membantu membersihkan nama
keluarga. Karena itu, usai pendidikan utama, aku memutuskan untuk segera turun
ke lapangan. Tapi… yang kulakukan malah mengacau. Kau yang memberiku kesempatan
kedua. Karena itulah, aku sangat berterima kasih.”
Wolfgang terdiam. Matanya masih memandang kail di laut.
“M-maaf, aku malah berbicara terlalu banyak. Maaf kalau
mengganggumu.”
“Berapa usiamu?”
“Eh?” Lyncreya memiringkan kepala.
“Usia. Berapa usiamu?”
“Tahun ini aku empat belas tahun.”
“Empat belas? Kau pendek yah.”
“Eeeeh? J-jangan menyinggung tinggi badan…” Lyncreya
tertunduk lesu.
“Kau punya semangat yang bagus, Kecil. Kau masih punya
banyak waktu. Kau bisa menjadi lebih kuat. Karena itu, jangan terlalu
memikirkan apa yang sudah terjadi di masa lalu.”
“Tuan Kelly…”
“Aah!” Wolfgang mengusap-usap rambutnya, “Aku sebal
mendengar ‘Tuan’. Terdengar aneh. Panggil saja aku seperti biasa!”
“Eh? Tapi, bagaimana?”
“Apapun asal tidak pakai ‘Tuan’.”
“Err… Kalau begitu, Wolfgang?”
“Boleh juga.”
Lyncreya tersenyum, “Baiklah kalau begitu. Terima kasih,
Wolfgang.”
Kemudian, keheningan pun melanda mereka untuk kedua kalinya.
Di depan matahari sore itu, Wolfgang dan Lyncreya menghabiskan waktu dengan
tenang.
***