1 Maret, pukul 20.00
Malam itu untuk ketiga kalinya, terjadi hujan debu yang
berkilauan di Kota San Cielo. Debu yang berkilauan yang jumlahnya tak terkira
turun perlahan-lahan, menciptakan sebuah pemandangan yang indah sekaligus aneh—bagaikan
dunia lain. Archibald sedang mengamati hujan itu dari sebuah kamar hotel. Ia
melihat pemandangan itu dengan seulas senyum di bibirnya.
Archibald kemudian mengambil remote dan menyalakan televisi. Yang ia lihat pertama kali adalah
berita yang mengabarkan tentang fenomena hujan debu berkilau itu. Dikabarkan
bahwa serentak dengan mulainya hujan debu berkilau, banyak orang-orang yang
pingsan tanpa penyebab yang jelas. Lelaki itu lagi-lagi tersenyum.
Kemudian terdengar ketukan pintu, “Permisi, Tuan Archibald.”
“Masuklah.”
C.C memasuki ruangan. Ia menatap ke jendela, kemudian
beralih ke Archibald.
“Dengan ini, kita akan menarik perhatian orang-orang dari
pemerintahan. Anda tidak masalah dengan ini?”
Archibald menjawab, “Menurut pemberitahuan wanita itu,
beberapa orang agen sudah dikirim kemari. Namun itu tidak jadi soal. Mereka
akan terbunuh sebelum menyadari apa yang terjadi di sini.”
“Anda benar-benar optimis…” C.C terdengar sedikit kesal.
Kemudian keadaan menjadi hening, sebelum wanita itu mulai
berbicara lagi.
“Bagaimana menurut anda?”
“Apanya?”
“Tentang apa yang kita lakukan ini. Menurutmu, apa kita akan
benar-benar menghasilkan sesuatu dari ini?”
Archibald kemudian tertawa perlahan, “Kau pesimis sekali.
Asal kau tahu saja, ini adalah sebuah awal dari revolusi. Sebuah awal dari
zaman yang baru.”
“Revolusi… Ya?”
Lelaki itu kemudian menatap ke arah jendela, ke arah langit
malam yang berkilau. Bunyi sirene dari kejauhan terdengar samar.
“Ini baru awal. Roda takdir akan mulai berputar setelah ini,
menyeret orang-orang yang terlibat dalam semua ini. Nanti akhirnya,
kekuatan-kekuatan besar akan jatuh. Konflik tak akan terelakkan lagi. Dunia
akan ‘berputar’. Berputar, seperti keinginan orang itu…”
“Anda selalu bilang begitu.”
“Akan kuanggap itu sebagai pujian.” Kata Archibald sambil
menyeringai.
***
1 Maret, Pukul 20.00
Telepon berbunyi ketika Profesor Jensen mematikan televisi
yang menayangkan berita ‘hujan debu’ yang terjadi di Kota San Cielo. Ia
sebenarnya tidak ingin bicara dengan siapapun karena dirinya dipenuhi rasa
frustasi. Namun entah kenapa telepon itu bagaikan menarik dirinya. Akhirnya,
dengan setengah hati ia menangkat teleponnya.
“Hello, Mister
Jensen.” Terdengar suara seorang wanita. Profesor Jensen mengenali suara itu.
“Freya #2…”
“Kau pasti tahu kenapa aku meneleponmu bukan?”
Jensen tidak menjawab.
“Moshi-moshi?
Profesor?”
Jensen mengepalkan tangan kirinya yang berkeringat.
“Aku tahu, ‘karya besar’mu sedang digunakan sekarang.
Efeknya… Yah, tepat seperti hasil penelitianmu. Aku yakin, sekarang di dalam hatimu
kau menari dengan bahagia karena semuanya berjalan dengan lancar, bukan?”
Jensen tidak bisa menahan amarahnya lagi, “Jangan bercanda!
Aku tidak ingin semuanya jadi seperti ini! Ini bukan harapanku!”
Wanita itu kemudian tertawa kecil, “Begitu? Padahal kau
adalah penciptanya. ‘Dia’ akan sedih jika mendengar ini.”
Sekali lagi Jensen terdiam. Di kepalanya sekarang segala
emosi bercampur aduk, dari kemarahan, kebingungan, hingga ketakutan. Tangannya
semakin berkeringat. Pikirannya kosong, tidak tahu harus berbuat apa. Ia
kemudian membuka mulutnya.
“…Apa yang harus kulakukan…?”
Sepertinya wanita itu sedikit terkejut mendengar pertanyaan
Jensen, karena ia tidak langsung menjawab pertanyaannya. Barulah sedetik
kemudian ia menjawab, “Kau bisa menghentikannya.”
“Apa…?!”
“Pergilah ke San Cielo. Kalau kau memang berniat untuk
mengakhiri ini untuk selama-lamanya. Tak perlu khawatir, aku akan membantumu.”
Detak jantung Jensen semakin cepat. Dirinya dipenuhi
keraguan. Berulang-ulang terus ia merasa mendengar, apa aku bisa melakukannya?
Apa aku bisa melakukannya?
“…Baiklah kalau begitu. Aku akan pergi ke sana,” Meski suaranya terdengar gemetar,
Jensen sudah menetapkan keputusannya.
“Ahahaha, bagus, bagus. Dengan ini, semua pemeran telah
berkumpul.”
“Apa maksudmu?”
“Tidak apa-apa, tidak usah kau hiraukan kata-kataku. Yang
penting, professor, kau harus tiba di San Cielo secepatnya, sebelum mereka
menggunakan ‘dia’ lagi untuk menurunkan hujan debu.”
Emosi Jensen mulai meluap lagi, “Aku tahu itu!”
“Ahahaha, bagus kalau begitu. Sampai ketemu di San Cielo,
Professor,” Dengan tawa ceria yang mirip anak kecil, wanita itu mengakhiri
teleponnya.
“Aku akan menghentikannya… Aku harus menghentikannya… Helena…”
Berbicara sendiri, Jensen menetapkan hatinya untuk melakukan
hal yang harus ia akhiri, karena bagaimanapun juga, ialah yang memulai
segalanya.
***
2 Maret, pukul 23.30
Ketika Lyncreya membuka kedua matanya, yang ia lihat adalah
mobil yang terbakar—mobil yang tadinya ia kendarai. Kemudian, ia melihat ke
sekitarnya. Terlihat tubuh rekan-rekannya bergelimpangan, tak bergerak.
“Lyncreya, kau tidak apa-apa?”
Terduduk di depan Lyncreya adalah partner sekaligus
mentornya, Luciano.
“Master! A-aku tidak apa-apa.”
“Untunglah… Uggh!”
Lyncreya terkejut ketika melihat darah bercucuran dari
tangan kiri Luciano, “M-master! Kau sendiri, tanganmu itu…”
Luciano tersenyum kecut, “Hah, cuma patah sedikit, tidak
masalah. Kita lengah… Serangan dadakan tadi benar-benar tidak terduga.”
“T-tapi…”
Sebelum Lyncreya bisa melanjutkan kata-katanya, dari balik
asap muncul seorang lelaki. Postur tubuhnya kelihatan kurus, kedua tangannya
panjang, mengukir kesan yang menakutkan pada orang-orang yang melihatnya. Ia
berjalan mendekati Lyncreya dan Luciano.
“Ooh, masih ada yang hidup ya? Siapa sangka! Baguslah, karena
kita butuh sandera.” Kata lelaki itu dingin, sambil terus mendekat. Meski
samar, Lyncreya bisa merasakan pancaran energi magis yang besar dari lelaki
itu. Ia berasumsi, lelaki itu adalah seorang penyihir kriminal yang berbahaya.
Luciano pun berdiri, meski harus susah payah.
“Siapa kau?! Kenapa kau melakukan ini!?”
“Memangnya aku punya kewajiban untuk menjawabmu? Yang benar
saja!”
Lelaki itu kemudian menghentakkan kakinya. Perlahan-lahan,
tanah di depan lelaki itu naik, kemudian membentuk sosok mirip manusia.
“Golem…?!” Luciano terkejut.
Golem itu kemudian berlari ke arah Luciano dengan tangan
terkepal. Luciano secara reflek langsung menciptakan prisai sihir. Pukulan
golem itupun tertahan. Namun
Ia tidak berhenti, Golem itu
terus memukuli prisai sihir tersebut.
“Lyncreya! Larilah dan hubungi pusat!” Seru Luciano.
“T-tapi, bagaimana denganmu, Master?!”
“Aku akan menahan orang ini! Cepatlah!”
“T-tapi—”
“Tidak ada waktu! Cepat lari!”
“Uuh…” Lyncreya pun berdiri dan perlahan-lahan mulai berlari
meninggalkan Luciano.
“Siapa bilang kau bisa lolos, hah?”
Sambil berteriak, lelaki itu lagi-lagi menghentakkan
kakinya. Kemudian muncul retakan di tanah yang memanjang hingga ke depan
Lyncreya. Dari retakan itu, muncul golem lain. Golem itu mengayunkan tangannya,
menghentikan Lyncreya yang mencoba melarikan diri.
“Kau menghalangi…!” Lyncreya berkonsentrasi. Ini adalah
pertarungan pertama yang ia alami sejak memulai kehidupannya sebagai agen.
Lyncreya tidak berencana untuk mendapatkan kekalahan pada pertarungan ini.
“Heah!”
Mengayunkan tangannya secara vertikal dari bawah ke atas,
Lyncreya menyerang golem itu dengan sihir serangan dasar. Duri es merambat dari
tempatnya ke golem itu. Sayangnya, duri itu hancur ketika bertatapan dengan
golem tersebut. Mereka tidak cukup kuat untuk menghancurkan boneka dari tanah
itu.
Ketika giliran golem itu menyerang, ia mengulurkan tangan
yang diameternya kira-kira setengah meter itu dengan cepat ke arah Lyncreya.
Gadis itu tidak punya waktu untuk mengelak. Tangan itupun menangkapnya dan meremas
tubuh kecilnya.
“Lyncreya!” Luciano yang lengah, tanpa sengaja mematikan
prisai sihirnya. Tinju golem didepannya pun bersarang di perutnya. Iapun
terjatuh.
“Hajar dia sampai mati, golem,” Ujar lelaki pengendali golem
itu dingin.
Golem itu pun mulai memukuli Luciano yang terbaring di
tanah. Ia terus memukuli Luciano hingga ia tak bergerak. Lyncreya yang
menyaksikan ini, sama sekali tidak berkutik.
“Ma-master….!? MASTEEER!!” Katanya dengan suara gemetar
setengah menangis.
Saat itulah, lelaki pengendali golem itu menghampiri
Lyncreya, “Kau beruntung bocah. Kau bisa hidup beberapa hari lagi. Hahaha!”
“T-tidak, Master….!” Sekali lagi, Lyncreya menengok ke arah
Luciano. Tubuh mentornya itu terbujur kaku dan tak berkutik sama sekali. Saat
itulah keputusasaan menghampiri hati gadis kecil itu.
***