4 Maret, pukul 20.00
Lyncreya menyentuh dadanya. Terasa detak jantung yang
kencang, menggetarkan seluruh tubuhnya.
Tenang… Tenang… Tenang…
Pikirnya sambil mengambil nafas dalam-dalam.
“Sepertinya itu mereka,” Suara Wolfgang mengembalikan kesadaran
Lyncreya.
Dua buah mobil sedan hitam berhenti di depan mereka. Azusa muncul di jendela
sedan yang berada di depan.
“Cepat naik,” Katanya.
“Kau naik yang depan, aku akan naik yang belakang,” Wolfgang
membuka pintu mobil yang berada di belakang. Lyncreya pun memasuki mobil yang dikendarai
Azusa.
Mereka pun memulai perjalanan. Dalam lima belas menit, mereka sampai di bandara. Azusa keluar dari mobil
dan memasuki bandara. Setelah menanti sejenak, ia kembali dengan tiga orang
berpakaian formal.
Azusa
membuka pintu, namun tidak masuk ke dalam, “Lyn, aku akan ke mobil belakang.
Biar Nick yang menyetir mobil ini.”
Lyncreya mengangguk.
“Halo, Lyn,” Seorang wanita berambut pirang masuk lewat
pintu belakang, dan duduk di samping Lyncreya.
“Nona Cindy!”
Lyncreya menengok ke depan. Nick dan Gerald sudah duduk di
kursi depan.
“Tuan Nick, dan Tuan Gerald juga…”
“Hai, Lyncreya,” Nick menyapa. Gerald menghadap Lyncreya dan
tersenyum.
Setelah itu, mobil mulai berjalan lagi. Dikuasai rasa
tegang, Lyncreya membisu. Jantungnya
masih berdegup tidak karuan. Kepalanya dipenuhi segala macam kemungkinan yang
bisa terjadi malam ini.
“Lyn?” Cindy menyeletuk, sedikit mengejutkan Lyncreya.
“Ada
apa?”
“Aku… Tidak, semua orang di agensi ikut berduka cita atas
meninggalnya Luciano dan yang lainnya.”
“Oh…”
“Maaf kalau membuatmu teringat pada pengalaman buruk.”
Lyncreya menggeleng, “Tidak apa, kok.”
Mendengar jawaban itu, Cindy mengamati wajah Lyncreya, “Kau
sepertinya sudah tidak terlalu memikirkan itu.”
“Yang lalu biarlah berlalu. Aku lebih ingin berkonsentrasi
pada saat ini. Aku akan berjuang sekuat tenaga agar hal yang sama tidak terjadi
lagi,” Lyncreya tersenyum.
Seakan bisa merasakan semangat Lyncreya, Cindy ikut
tersenyum, “Begitu ya. Baguslah kalau begitu!”
Beberapa menit kemudian, mereka memasuki terowongan. Meski
baru sekitar pukul setengah sembilan malam, jalanan sudah sunyi senyap. Kedua
mobil berjalan dengan lancar hingga
tiba-tiba lampu mobil yang berada di depan menyorot sebuah sosok di
tengah jalan. Seorang manusia.
“A-ada orang di tengah jalan!” Seru Nick.
“Rem, Nick! Rem!”
Cindy mendorong bahu Nick.
Nick pun segera menginjak rem dengan sekuat tenaga, namun
sudah terlambat. Mobil itupun menabrak orang yang berada di tengah jalan itu,
hingga berbunyi ‘Brak’. Tidak seperti dugaan orang-orang di dalam mobil, sosok
itu tidak bergeming dari tempatnya.
“Eh…? Bagaimana mungkin…?” Lyncreya menggumam.
Samar-samar terlihat seringai di wajah sosok itu. Iapun
mencengkram bemper mobil dan mengangkatnya. Cindy yang menyadari hal itu,
membuka pintu di sisi Lyncreya dan mendorongnya keluar.
“Aduh!” Lyncreya pun terlempar ke jalanan. Saat itulah ia
bisa melihat dengan jelas, sosok yang sedang mengangkat mobil itu adalah
seorang lelaki botak bertubuh besar dan bertelanjang dada. Mobil itupun diputar
balikkan. Menghantam aspal, mobil itu penyok dan seluruh kacanya pecah.
“A-aah…” Menyaksikan semua itu, Lyncreya merasakan tubuhnya
kaku. Ia tidak tahu bagaimana kondisi Cindy dan yang lainnya. Ia sedikit merasa
lega ketika Cindy merangkak keluar dari mobil itu, meski kepalanya berlumur
darah.
“Sialan kau…!” Cindy mengambil pistol di kantongnya dan
menembak lelaki bertubuh besar itu. Anehnya, tidak ada peluru yang kena. Dengan
gerakan yang cepat, lelaki itu menghindarinya. Ia kemudian memukul perut Cindy
dengan keras. Cindy pun terjatuh dan pingsan. Lelaki itupun mengangkat Cindy
dengan menarik rambutnya, bersiap untuk melakukan pukulan penghabisan.
Melihat pemandangan di depannya, Lyncreya berniat untuk
tidak tinggal diam. Tetapi seluruh tubuhnya dibekukan ketakutan. Tangan dan
kakinya gemetaran. Bayangan dimana semua orang lagi-lagi tewas menghantuinya.
“Tidak akan—”
Menarik nafas dalam-dalam, Lyncreya berdiri. Ia tidak
menghiraukan ketakutannya lagi. Dikibaskanlah tangan kanannya secara vertikal,
yang menyebabkan munculnya duri-duri es di tanah yang merambat ke arah lelaki
botak itu. Namun sayangnya serangan itu bisa dengan mudah dihancurkan olehnya.
Serangan dasarku tidak
mempan padanya?! Lyncreya merasakan detak jantungnya semakin cepat. Meski
demikian, tekadnya untuk bertarung belum padam.
“Lawanmu ada di sini!” Teriaknya pada lelaki itu.
“Ooh, ada penyihir rupanya,” Kata lelaki itu sambil bangkit
dan menjatuhkan Cindy. Perhatiannya sepertinya sudah teralih ke Lyncreya, “Kalau
begitu, kau akan jadi yang pertama…”
Lelaki itupun kemudian mulai mendekat ke arah Lyncreya. Lelaki
itu memang tinggi. Namun di mata Lyncreya ia bagaikan raksasa. Hasrat membunuh
yang sangat kental mengiringi setiap langkahnya. Tubuh kekar yang
mengintimidasi serta mata yang liar,
membuat Lyncreya sadar bahwa lawannya adalah kriminal yang sangat
berbahaya.
Ketika jarak mereka kurang lebih satu meter, lelaki itu
melancarkan tendangan.
Mengalirkan energi sihir lewat kakinya, Lyncreya memunculkan
tembok es yang tingginya kira-kira setara dengan lelaki itu di depannya untuk
bertahan. Sayangnya tembok itu dengan mudah dihancurkan oleh tendangan lelaki
itu.
“Ahahaha! Lemah!”
“Urgh…!”
Lelaki botak itu kali ini menggunakan bogemnya. Lyncreya
masih sempat menghasilkan tembok es, meski sekali lagi tembok itu hancur. Tinju
lelaki itu akhirnya mencapai Lyncreya. Untungnya, Lyncreya dengan sigap
menggunakan tangannya untuk bertahan. Iapun dibuat mundur sekitar satu meter
karena pukulan keras itu.
Kuat sekali! Tembok
esku tidak bisa menandinginya…
Rasa putus asa mulai membayangi Lyncreya. Ia mencoba
memikirkan taktik bertarung lain, namun tidak terlintas satupun di pikirannya.
“Tamat kau, gadis penyihir!” Lelaki itu kemudian berlari ke
depan Lyncreya. Tidak sempat bereaksi, Lyncreya menatap tinju lelaki itu tanpa
bergeming—
“Hup!”
Sebelum tinju lelaki itu mencapai Lyncreya, seseorang
menghalau tinju lelaki botak itu.
***
4 Maret, pukul 20.35
“Wolfgang!”
“Kau berjuang dengan baik. Sekarang, biar kuteruskan. Kau
bantulah Mikawa mengeluarkan orang-orang di dalam mobil itu.”
“Oh, benar juga! Nona Cindy!” Lyncreya pun berlari ke mobil
yang terbalik itu.
Lelaki botak di depan Wolfgang tertawa, “Pergantian pemain?”
“Cerewet, botak.”
Lelaki itupun memasang kuda-kuda bertarung. Posisi kedua
tangannya sejajar dengan kepala, dan kaki sebelah kanan agak diangkat serta
menekuk ke dalam. Kuda-kuda yang cukup familiar di mata Wolfgang.
“MAJU!”
Melesat ke depan Wolfgang, lelaki itu melancarkan tendangan
tinggi. Dengan mudah, Wolfgang menahannya. Lelaki itu kemudian memajukan kaki
kirinya yang berada di belakang, seperti akan melakukan tendangan. Namun
kemudian ia menarik kakinya ke belakang sambil melancarkan cross ke arah wajah Wolfgang.
Cobra Punch… Tak salah
lagi, Muay Thai.
Tidak mau mengalah begitu saja, Wolfgang menepis pukulan itu
kemudian melangkah maju sambil menundukkan tubuhnya. Dari sisi samping kanan,
Wolfgang melancarkan counter cross.
Sayangnya serangan itu meleset karena lelaki botak itu melompat mundur.
“Lumayan juga kau. Tapi, masih bukan tandinganku,” Ujar
lelaki itu, seraya kembali bergerak mendekati Wolfgang.
Wolfgang bisa melihat dengan jelas, lelaki itu mempersiapkan
bogem kanannya untuk memukul. Namun tiba-tiba tinju itu sudah berada di depan
wajah Wolfgang. Untunglah, Wolfgang masih sempat menggunakan kedua tangannya
untuk bertahan.
Kenapa pukulannya
cepat sekali?! Pikir Wolfgang sambil terus memasang posisi Blocking.
Lelaki botak itu kali ini menarik kakinya ke belakang untuk
melancarkan tendangan. Sama seperti pukulan tadi, tanpa Wolfgang sadari kaki
itu sudah berada beberapa mili dari pinggang Wolfgang. Serangan itupun kena,
membuat tubuh Wolfgang bergeser beberapa langkah.
“Hahaha! Tidak bisa mengikuti gerakanku, ya?”
“Sudah kubilang, kau cerewet, Botak.”
“Masih bertingkah seakan kau punya kesempatan menang... Aku
mengasihanimu.”
Lelaki itu pun kemudian melancarkan serangan berturut-turut
dengan tangan, kaki, dan siku. Semua serangan itu begitu cepat hingga Wolfgang
tidak bisa melihatnya. Ia hanya bisa memasang posisi bertahan sementara
hantaman lelaki itu terus mengenainya. Kecepatan itu, bagi Wolfgang, tidak
masuk akal. Wolfgang menduga, sarung tangan dan sepatu lelaki itu telah diberi
sihir yang mempercepat gerakan.
Ditengah hantaman berturut-turut lelaki itu, Wolfgang bisa
melihat kesempatan. Ada
jeda ketika lelaki itu usai melakukan tendangan tinggi. Memanfaatkan momen yang
mungkin hanya sedetik itu, Wolfgang melangkah maju dan melancarkan hook kanan. Pukulan itu sukses mengenai
pinggul lelaki botak itu.
“Geh…! Bisa membalas seranganku… Kau hebat juga!” Ujar
lelaki itu dengan seringai di bibirnya, “Tak akan kubiarkan kau melakukan itu
lagi!”
Lelaki itu kembali memulai serangan berturut-turut. Wolfgang
pun terpaksa kembali ke posisi defensif. Ia berniat untuk mengincar saat yang
sama lagi, namun terlintas di kepalanya,
apakah ia masih cukup kuat untuk menahan serangan bertubi-tubi?
***
4 Maret, pukul 20.35
“Nona Mikawa!”
“Ooh, Lyn! Tolong bantu aku mengeluarkan Nick!”
Lyncreya pun membantu Azusa
menarik Nick dari dalam mobil. Sementara Kenji mengeluarkan Gerald. Meski
pingsan, keduanya hanya sedikit terluka, melegakan Lyn. Namun kemudian ia
teringat pada Cindy.
Lyncreya segera menghampiri Cindy yang tergeletak. Ia bisa
melihat darah menggenang di bawah mulut Cindy. Setelah Lyncreya memeriksa tubuh
Cindy, ia merasa lega Cindy masih bernafas. Namun, ia terus memuntahkan darah.
“Pasti ada pendarahan dalam,” Ujar Azusa yang berdiri di
samping Lyncreya, “Apa kau bisa menggunakan sihir penyembuh, Lyn?”
Lyncreya mengangguk, “…Sedikit. Mungkin aku bisa menghentikan
pendarahannya,” katanya sambil berjongkok.
Lyncreya pun meletakkan tangannya di daerah tulang rusuk
Cindy, dan mulai menggunakan sihir penyembuh. Sihir ini, meski kelihatan remeh,
butuh ketelitian dan pengetahuan akan susunan dalam tubuh manusia. Lyncreya pun
mengalami kesulitan. Namun setelah meyakinkan diri untuk tidak membiarkan
rekannya meninggal, Lyncreya meningkatkan konsentrasinya. Ia berhasil
mengendalikan pembuluh darah yang rusak dalam tubuh Cindy, dan menyusunnya
kembali sesuai aturan. Cindy pun berhenti memuntahkan darah.
“Kerja bagus, Lyn!” Puji Azusa ketika ia melihat kondisi
Cindy.
Lyncreya menghela nafas lega. Tetapi tak lama kemudian ia
mengingat Wolfgang. Ketika ia menengok ke arahnya, Lyncreya melihat Wolfgang
yang terdesak.
Aku….
Detak jantung Lyncreya semakin cepat. Dalam hatinya ia
berniat untuk menolong Wolfgang. Meski demikian ia masih merasa sedikit
ketakutan. Kemudian, ia menarik nafas dalam-dalam, dan berdiri.
Aku tidak takut!
Pikirnya sambil berlari mendekati kedua lelaki yang sedang bertarung dengan
sengit itu.
***
4 Maret, pukul 20.45
Wolfgang terus bertahan dalam hujan pukulan dan tendangan
yang dilancarkan oleh lawannya. Ia berniat mengincar celah yang sama seperti
serangan baliknya yang sebelumnya, namun ia kesulitan, karena gerakan lelaki
botak itu semakin cepat tiap detiknya.
Aku harus memukul di
saat yang tepat…! Pikir Wolfgang sambil terus bertahan.
Saat itulah satu hook
cepat dari lelaki botak itu berhasil memecah pertahanan Wolfgang.
“Argh…!”
“Kena kau!”
Bogem susulan lelaki botak itu meluncur dengan cepat menuju
ke wajah Wolfgang yang sudah tidak bisa berkelit—
“Haah!”
---sebelum sebuah tembok es muncul di depan Wolfgang. Tinju
lelaki itupun mengenainya. Mengejutkannya, tembok itu tidak hancur seperti
tadi. Lelaki itu sekali lagi memukulnya, namun tembok itu masih tetap berdiri.
“Apa…!?”
“Tidak akan kubiarkan kau menghancurkannya lagi!”
Terdengar suara Lyncreya di samping Wolfgang.
Lelaki botak itu kemudian mencoba menarik tangannya,
berusaha mengantisipasi serangan Lyncreya. Tetapi siapa sangka tangannya
melekat ke tembok e situ.
“Apa-apaan—”
“Kena kau, Botak.”
Wolfgang melangkah ke samping dengan tinju terkepal.
Melewati tembok es yang dibuat Lyncreya, dengan sekuat tenaganya Wolfgang
melancarkan hook kanan-kiri tepat ke
wajah lelaki botak itu, dan mengakhirinya dengan straight jab yang membuat lelaki itu terlempar ke belakang.
***
4 Maret, pukul 20.46
“Cuih!” Memuntahkan darah, lelaki botak itu kelihatan
kesakitan. Berkat pukulan kombinasi Wolfgang, wajahnya babak belur. Namun bukan
berarti ia sudah kehilangan semangat bertarung. Lyncreya bisa merasakan hasrat
membunuh yang masih meluap-luap dari lelaki itu.
“Masih belum! Masih belum, bocah-bocah!” Lelaki botak itu
berkoar-koar.
Mendengar suara parau lelaki itu, tubuh Lyncreya gemetar.
Melihat Wolfgang yang juga masih memasang kuda-kuda, Ia mencoba menenangkan
diri dan meyakinkan bahwa pertarungan belum selesai.
“Sudah cukup.”
Tiba-tiba seseorang muncul begitu saja diantara Wolfgang dan
lelaki botak itu. Seorang wanita berambut sepinggang yang mengenakan turtleneck tak berlengan. Tatapan
matanya begitu tajam, memancarkan aura yang mengancam.
“Waktunya sudah habis. Saatnya kembali.”
“Cih!” Lelaki botak itu kelihatan tidak senang mendengarnya,
“Camkan ini, bocah. Berikutnya kita bertemu, adalah saatnya pertarungan sampai
mati! Ingat itu!”
“Ya, ya, ya…. Kau benar-benar cerewet, Botak,” Balas
Wolfgang dengan suara yang kedengaran malas.
Kemudian, mereka menghilang. Lyncreya yakin mereka
menggunakan sihir teleportasi. Ia melihat ke sekeliling, namun tidak ada
penyihir yang terlihat olehnya.
Teleportasi jarak
jauh, ya… Pikir Lyncreya. Iapun menghampiri Wolfgang.
“Wolfgang, kau terluka?”
“Cuma memar-memar di tanganku, tidak masalah—”
“Biar kusembuhkan.”
Lyncreya menggenggam lengan kiri Wolfgang dan mulai
menggunakan sihir penyembuh. Kemudian, ia terkejut ketika merasakan sentuhan
lembut di kepalanya. Rupanya tangan kanan Wolfgang. Ia tidak berkata-kata sama
sekali, hanya mengusap rambut Lyncreya dengan perlahan.
“A-ada apa, Wolfgang?”
“Ehm, aku… Hanya ingin berkata, kerja bagus.”
Awalnya Lyncreya sedikit terkejut, namun kemudian ia
tersenyum, “Kau sendiri juga, Wolfgang.”
***