5 Maret, pukul 09.00
“Permisi,” kata Lyncreya ketika memasuki kamar. Wolfgang
mengikuti di belakangnya. Kamar rumah sakit itu didiami oleh Cindy dan satu pasien
lain.
“Oh, Lyn.”
“Halo Nona Cindy. Bagaimana kondisimu?”
Cindy tersenyum, “Berkat kau, lukanya tidak terlalu parah.
Hanya beberapa tulang rusuk yang retak. Aku hanya butuh istirahat untuk saat
ini.”
“Syukurlah…” Lyncreya menghela nafas lega.
“Terima kasih kau sudah menjengukku. Kau juga, Tuan Kelly.”
“Tidak masalah,” Kata Wolfgang sambil melambaikan tangannya.
“Kalian sudah menjenguk Nick dan Gerald?”
“Kami baru saja dari sana,”
jawab Lyncreya sambil mengangguk, “Mereka tidak luka parah.”
“Begitu ya… Anu, Lyn? Aku ingin minta maaf,” Kata Cindy
seraya menurunkan nada suaranya.
“Untuk apa?”
“Aku minta maaf karena aku tidak bisa berpartisipasi dalam
misi setelah ini. Aku benar-benar menyesal.”
“T-tidak apa kok, Nona Cindy. Aku… sudah cukup bersyukur
tidak ada yang tewas semalam. Hal itu saja sudah membuatku senang,” Lyncreya
membalas dengan nada gembira.
“Benar juga… Hehehe,”
Sementara Lyncreya dan Cindy mengobrol dan tertawa, Wolfgang
melihat tempat tidur di sebelah Cindy. Seorang perempuan terbaring di sana. Kedua mata tertutup
dan nafas yang teratur, Wolfgang berpikir dia mungkin sedang tidur.
Kemudian, seseorang memasuki ruangan. Perempuan itu berjalan ke samping tempat tidur
itu dan meletakkan bunga yang ia bawa di meja di sebelahnya. Wolfgang berpikir,
mungkin dia temannya.
Tiba-tiba terpikir di benak Wolfgang, bahwa ada kemungkinan
perempuan yang tertidur itu adalah—
“Anu, boleh aku bertanya?” Wolfgang menghampiri perempuan
pembawa bunga itu, “Apa nona yang terbaring ini adalah korban dari hujan debu?”
“Eh? Bagaimana kau bisa tahu?!” Perempuan itu terkejut.
Bingo, pikir
Wolfgang.
“Aku hanya asal menebak.”
Perempuan itu memandang Wolfgang dengan tatapan kagum.
“A-anu, namaku Holly Day, dan ini Tina Zimmer.”
“Aku Wolfgang Kelly. Apa kau bersama dengan… Ehm, Tina
ketika hujan debu terjadi?”
“Ah, iya. Kami sedang berjalan pulang dari kampus kami,”
Jawab Holly sambil sesekali melihat Tina.
Wolfgang pun merogoh kantongnya, mengambil foto Helena, “Ketika itu, apa
kau melihat gadis ini?”
Holly tidak langsung menjawab. Ia menatap foto itu selama
sepuluh detik sambil menyipitkan matanya.
“Sepertinya aku melihat gadis ini, hanya ia kelihatan lebih
tua.”
Wolfgang pun teringat perkataan Barista kafe yang ia temui beberapa hari yang lalu.
“Bisa kau ceritakan secara lengkap, bagaimana kau melihat
gadis ini?”
Holly mengusap dagunya, “Saat itu, kami baru saja pulang
dari kuliah. Hujan debu itupun terjadi. Saat itulah aku menyadari ada yang aneh
pada Tina. Ia tidak berbicara sama sekali, tatapan matanya kosong dan tubuhnya
gemetar. Kemudian, aku melihat gadis di foto itu. Ia berjalan mendekati kami,
sebelum akhirnya berbelok di perempatan. Setelah itu, Tina tiba-tiba berlari
mengejar gadis itu. Ketika aku menysulnya di tikungan, Tina sudah tergeletak di
trotoar dan gadis itu menghilang.”
Wolfgang termenung sesaat, sebelum berkata, “…Begitu.”
Apa hujan debu itu
benar-benar berhubungan dengan kemunculannya…? Pikir Wolfgang.
“Ada
apa, Wolfgang?” Lyncreya menghampiri Wolfgang.
“Tidak… Tidak apa. Hm?”
Wolfgang merasakan getaran di kantongnya. Iapun mengambil
telepon genggamnya. Rupanya SMS dari Raulia.
Datanglah ke Birdcage,
sekarang. Ok~
“Heeh,” Wolfgang menghela nafas. Ia kemudian menyadari
Lyncreya juga memegang telepon genggamnya.
“Dari Nona Mikawa,” Kata Lyncreya, “Ia ingin kita menemuinya
di Birdcage.”
***
5 Maret, pukul 09.30
Di tengah perjalanan ke kafe, Lyncreya tiba-tiba bertanya, “Wolfgang,
tadi di rumah sakit itu foto siapa?”
“Oh. Itu adikku.”
“Apa yang terjadi padanya?”
“Ia… Menghilang.”
Lyncreya sedikit menaikkan nada bicaranya, “A-apa dia
diculik?”
“Tidak. Ia… hanya menghilang.”
“M-maaf, kalau topik itu tidak suka kau bicarakan,” Melihat
ekspresi datar Wolfgang, Lyncreya sepertinya memutuskan untuk tidak melanjutkan
pembicaraan.
“Tidak apa kok. Daripada itu…” Mereka sudah sampai di depan
kafe, namun Wolfgang menyadari ada yang aneh, “…Kenapa yang terpasang di sini
tulisan ‘tutup’?”
Melihatnya, Lyncreya cuma bisa memiringkan kepalanya, “Benar
juga…”
Tiba-tiba, pintu itu terbuka. Wajah yang muncul di baliknya
adalah wajah penuh senyum milik sang Barista—yang
tidak disukai oleh Wolfgang.
“Kalian sudah ditunggu. Silakan masuk,” Katanya dengan nada
penuh keramahan.
“…Cih,” Sambil mengumpat, Wolfgang masuk, diikuti Lyncreya.
Di meja tengah, duduklah Azusa—Kenji berdiri di belakangnya—serta
Raulia. Tepat seperti yang tertulis di papan pintu depan itu, tidak ada tamu
selain mereka. Wolfgang dan Lyncreya pun duduk di seberang mereka
“Pesan minuman yang biasanya untuk kalian?” Tepat ketika
Wolfgang dan Lyncreya duduk, Barista menanyai
mereka.
Lyncreya melirik ke Wolfgang. Ia mengangguk, meski di
wajahnya terpancar rasa jengkel, “Iya. Seperti biasanya.”
Beberapa menit kemudian, minuman mereka sudah diletakkan di
meja, “Silakan menikmati,” kata Barista itu.
“Kurasa aku bisa mulai berbicara sekarang,” celetuk Azusa dengan ekspresi
serius, “Topik pertemuan kita kali ini adalah ‘serangan balik’.”
Tidak ada yang bereaksi pada kata-kata itu. Sebagian besar
dari mereka tidak mengerti apa yang Azusa
bicarakan. Azusa
yang sepertinya sudah menduga reaksi ini, menyeruput secangkir mocca yang berada di depannya, kemudian
mulai berbicara lagi.
“Biar kujelaskan. Di operasi kita tadi malam, kita berhasil
menghindari adanya korban. Namun di sisi lain kita tidak mendapatkan apapun.
Tidak ada info, ataupun kemajuan apapun. Kita juga tidak bisa menemukan
mata-mata yang kita cari. Karena itulah, aku merencanakan serangan balik. Mulai
sekarang, kita yang ada di posisi aktif! Kita tak perlu takut pada mata-mata
lagi!” Ujarnya dengan semangat menyala-nyala. Sayangnya semangat itu tidak
menular ke para pendengar.
“Master, parfait-nya
satu lagi~” Kata Raulia yang baru saja menghabiskan segelas parfait-nya.
“Nona McFayt! Kau mendengarkan tidak?”
“Ooh, tenanglah Azu-nee.
Aku mendengarkan kok~ Hanya, sambil makan.”
Azusa
menarik nafas dalam, dan melanjutkan, “Karena itu, hari ini aku memulai mengadakan
pencarian untuk menangkap para kriminal yang bersembunyi itu!”
“Eh? Siapa saja yang terlibat?” Tanya Lyncreya.
“Aku, kau, Wolfgang, Raulia, dan Horatio.”
Wolfgang sedikit terkejut mendengar nama Raulia disebut, “Bukankah
kau tidak suka bekerja di dalam sebuah tim?”
Raulia mengedipkan mata kanannya, “Azu-nee menjanjikan tambahan upah. Lagipula, misi ini menarik.
Ngomong-ngomong tentang bekerja dalam tim, Wolf, kau juga tidak menyukainya
bukan?”
“…Iya juga. Tapi kurasa aku tidak punya pilihan lain kali
ini.”
Azusa
menganggukkan kepalanya, “Bagus kalau begitu, Wolfgang. Saat ini, aku butuh
orang sebanyak mungkin.”
“Ah! Anu,” Lyncreya memotong, “’Horatio’ itu siapa?”
Azusa
tidak berkata-kata. Ia hanya menunjuk sang Barista
yang sedang memberikan parfait kepada
Raulia.
“E-eeh? Kau bercanda, Nona Mikawa?”
“Aku tidak bercanda. Biar kuperkenalkan! Barista kafe ini, sekaligus mantan
anggota IBI, Horatio Reynolds!”
“Salam kenal semuanya,” Kata Barista itu sambil menundukkan tubuhnya.
“Tunggu dulu… Horatio Reynolds, sang ‘Sky Eye’? Navigator
tersohor itu?” Ujar Lyncreya, “Kau ini legenda!”
“Legenda? Masa’ sih?” Wolfgang terdengar tidak percaya.
“Ah, jangan terlalu membesar-besarkan. Aku tidak sehebat
itu. Jujur saja, aku lebih memilih untuk menyajikan minuman saja. Tapi Nona
Mikawa butuh tenaga, jadi aku memutuskan untuk membantunya.”
“Itu benar,” Azusa
membusungkan dadanya, “Dengan ini, kita akan memulai perburuan!”
Awalnya, hanya Kenji yang bertepuk tangan. Kemudian Horatio,
Lyncreya dan Raulia. Wolfgang hanya terdiam dengan ekspresi masam di wajahnya.
“Aku akan segera melangsungkan briefing untuk misi kita sore ini,” Azusa berdeham, kemudian mulai menjelaskan, “Kita
tahu, misi awal kita sebenarnya adalah meneliti apa sebenarnya hujan debu yang
membuat orang-orang tak sadarkan diri. Namun, kita selalu dihalangi oleh
sekelompok kriminal. Hal itu memastikan, bahwa hujan debu itu adalah perbuatan
mereka dan ada rahasia dibalik itu. Misi pertama kita adalah menemukan asal
muasal hujan debu tersebut.”
Azusa
berhenti untuk menghabiskan mocca-nya,
kemudian mengambil peta yang ada di sampingnya dan membukanya.
“Ini adalah peta Kota San Cielo. Asal kalian tahu saja,
hujan debu yang kemarin hanya terjadi di area kecil ini, di bagian barat kota,” kata Azusa
seraya menggerakkan jarinya seakan menggambarkan lingkaran di peta itu, “Menurut
penelitian awal Horatio, pada tanggal 1 Maret pukul tujuh malam, ada getaran
energi magis di daerah sekitar sini. Kita akan meneliti tempat itu pada sore
hari. Seperti kataku tadi, ini adalah serangan balik! Kini giliran kita untuk
menghancurkan kalian, para kriminal biadab!”
Mendengar briefing berapi-api
Azusa, hanya
Kenji yang bertepuk tangan. Kemudian Horatio, Lyncreya, dan Raulia. Sama
seperti sebelumnya, Wolfgang hanya terdiam dengan ekspresi masam di wajahnya.
***