Rain of Dust - Chapter 8





5 Maret, pukul 21.00

Di kamar rumah sakit yang sunyi itu, Wolfgang memandang wajah Holly Day. Wajah yang kelihatan damai itu sangatlah menipu. Saat ini, berada di manakah kesadaran Holly Day? Apa bisa membuatnya terbangun lagi? Apa hubungannya dengan Helena? Apa yang sebenarnya terjadi? Pertanyaan demi pertanyaan muncul, namun tidak ada jawabannya—setidaknya, Wolfgang tidak memilikinya.
“Wolfgang…” Terdengar suara Lyncreya di belakangnya, “Professor Jensen sudah bisa ditemui.”
“Oh. Baiklah.”
Wolfgang pun melirik sekali lagi ke arah Holly sebelum akhirnya berjalan kea rah pintu keluar, melewati Lyncreya.
“Wolfgang… Kau tidak apa-apa?” Tanya Lyncreya di tengah perjalanan mereka ke kamar Professor Jensen.

“Memang aku kelihatan seperti apa?”
“T-tidak, hanya…” Lyncreya sedikit gagap, “wajahmu kelihatan sedikit pucat.”
“Begitu. Aku tidak apa-apa, kok. Cuma sedikit penasaran pada cerita professor itu.”
Sesampainya di kamar Jensen, Lyncreya mengetuk pintu. Suara yang mempersilahkannya masuk adalah suara Azusa. Di dalam, tepatnya duduk di atas kasur, adalah Professor Jensen yang entah bagaimana, sudah kelihatan sehat.
“Baiklah, karena semuanya sudah di sini, aku akan mulai… Tapi sebelumnya, aku ingin memastikan, kau sudah benar tidak apa-apa, Professor?” Tanya Azusa.
“Sudah kubilang,” Jensen membuka gaun rumah sakitnya, menunjukkan sebuah tato di dadanya, “dalam tato ini tersegel sihir regenerasi yang akan aktif ketika aku terluka parah. Hanya sekali pakai, sih. Aku sama sekali tidak berniat melakukannya setengah-setengah jika harus berhadapan dengan ‘gadis itu’.”
Azusa mengangguk, “Begitu. Ngomong-ngomong aku belum memperkenalkan lelaki ini,” Azusa menunjuk Wolfgang, “ini adalah Wolfgang Kelly.”
Raut wajah Jensen yang tadinya kelihatan tenang sekarang menegang. Bagaikan memandang hantu, matanya terbelalak.
“Kau… Kelly…? Apa hubunganmu dengan Helena…?”
“Aku kakak sulungnya,” Jawab Wolfgang singkat.
“Begitu ya… Dia… banyak bicara tentangmu—tidak, tidak hanya kau, tapi seluruh anggota keluarganya. Ia memang benar-benar menyayangi keluarganya,” Kata Jensen, setengah berbisik.
“Professor Jensen, apa kau sudah siap berbicara?” Azusa memotong.
“Jadi, apa yang ingin kalian dengar?”
“Semuanya. Dari hujan debu yang terjadi belakangan ini hingga yang terjadi sepuluh tahun yang lalu. Juga, apa hubungannya semua ini dengan Helena Kelly.”
Jensen menghela nafas, “Baiklah kalau begitu. Memang benar, semuanya mulai terjadi sepuluh tahun yang lalu. Ketika Helena Kelly datang…”

***

10 tahun yang lalu

Britt Jensen sama sekali tidak menunggu tamu di hari itu. Karena itulah ia terkejut ketika seseorang mengetuk pintu laboratoriumnya yang terletak di pedalaman Slovakia. Dengan segera, ia berjalan menuju ke pintu masuk. Yang muncul di baliknya adalah seorang lelaki yang mungkin berusia tidak kurang dari tiga puluh lima tahun. Di sampingnya, seorang gadis kecil berdiri. Melihat dari postur tubuh yang pendek itu, Jensen berasumsi gadis itu mungkin masih duduk di bangku SD.
“Apa kau pemilik laboratorium ini? Professor Britt Jensen?” Lelaki itu membuka pembicaraan.
“Ah? I-iya. Ada apa, ya?”
“Kalau aku tidak salah dengar, kau cukup ahli dalam bidang neurosains, bukan? Aku ingin kau meneliti anak ini.”
“Anak kecil ini…?” Jensen melirik gadis kecil itu, yang kemudian membalasnya dengan senyum polos, “Memang ada apa dengan anak ini?”
“Percaya atau tidak, ia bisa membaca pikiran.”
Jensen menggaruk kepalanya, “…Maaf, tapi kurasa aku tidak bisa menganggap serius tentang hal ini. Tolong katakan bahwa kau cuma bercanda.”
Lelaki itu menjawab dengan ekspresinya datar, “aku sudah menduga jawaban yang seperti itu,” ia kemudian mengangkat tangannya dan menggerakkan kelima jarinya, seperti sedang memanggil seseorang, “dan aku juga sudah siap jika kau membalas demikian.”
Rupanya lelaki itu memanggil orang-orang berpakaian hitam yang entah sejak kapan berada di halaman laboratorium Jensen. Mereka sama sekali tidak terlihat bersahabat.
“…Apa maumu?” Tanya Jensen dengan suara sedikit gemetar.
“Aku sudah bilang bukan? Aku ingin kau meneliti anak ini. Kalau kau masih tidak percaya, silahkan lakukan tes pada anak ini. Aku yakin kau akan mendapatkan jawabannya,” Lelaki itu menjawab.
Setelah itu, Jensen menghabiskan waktu melakukan tes pada gadis kecil bernama Helena Kelly itu. Terkejutlah ia ketika menyadari omongan lelaki bernama Wodan Carmichael itu jujur. Helena Kelly memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Ditambah lagi, Jensen menyadari bahwa kekuatan Helena tidak hanya itu—ada sebuah kekuatan yang lebih besar lagi, tersembunyi dalam tubuh gadis kecil itu.
Namun dari segi personality, Helena tak ubahnya dari seorang gadis berusia tujuh tahun. Bibirnya hampir selalu membentuk senyum. Ia juga sering bercerita tentang keluarganya. Ia bilang, ia sudah merindukan ayah, ibu, dan kakak-kakaknya. Menurut Wodan yang ia panggil ‘Paman’, ia baru bisa bertemu dengan keluarganya setelah penelitian ini selesai.
“Aku sudah tidak sabar bertemu keluargaku. Karena itulah aku akan berjuang sekeras mungkin menjalani semua ini. Ah, Pak Jensen, kau nanti akan kukenalkan pada keluargaku! Tenang saja, mereka orang-orang baik kok!” Kata Helena suatu hari.
Melihat sosok penuh senyum Helena, hati Jensen terasa teriris-iris. Ia tahu, Wodan takkan membiarkannya pulang. Gadis itu akan terus berada di sini, menjalani tes demi tes dan eksperimen. Di satu sisi di hatinya, Jensen tidak ingin melakukan apapun pada Helena. Namun keingintahuan menggerogoti tubuhnya, menghilangkan nuraninya. Jensen pun menuruti perintah Wodan untuk melakukan eksperimen pada Helena, agar gadis itu bisa memaksimalkan kekuatan yang ada dalam dirinya.
Dalam waktu beberapa bulan, eksperimen Jensen menghasilkan kenyataan baru tentang kekuatan Helena. Pada sebuah eksperimen yang melibatkan seekor tikus, terbukti bahwa Helena bisa mengendalikan pikiran tikus itu, hingga akhirnya merebut kesadarannya. Tikus itu masih hidup, namun tidak bisa terbangun dari tidurnya. Jensen dan para rekannya pun kebingungan. Kemana kesadaran tikus itu pergi?
Sementara pertanyaan itu terus mengambang di pikiran para peneliti, suatu hari, penjagaan atas Helena melemah. Gadis itupun menghilang dari laboratorium. Jensen dan yang lainnya pun bagai kebakaran jenggot. Setelah pencarian di seluruh penjuru laboratorium tidak menghasilkan apapun, Jensen dan yang lainnya berencana untuk pergi ke desa terdekat.
Ketika mereka hampir sampai di desa itu, terlihat pemandangan yang aneh. Di desa itu sepertinya turun semacam hujan debu yang berkilauan. Sebuah pemandangan yang indah, yang ironisnya juga kelihatan menakutkan. Sesuatu yang seperti bukan dari dunia ini.
Sesampainya di desa itu, hujan debu itu sudah berhenti. Namun, Jensen dan yang lainnya menemukan para penduduk desa itu tergeletak di jalanan. Kondisi mereka, bisa dibilang sama dengan kondisi tikus yang digunakan ketika eksperimen—tanpa kesadaran.
Jensen pun menemukan Helena di tengah desa, di tengah-tengah segerombolan orang yang tergeletak di tanah. Wajahnya kelihatan sedih.
“Pak Jensen… Kenapa mereka semua tertidur? Kenapa mereka tidak ingin bicara denganku…?” Tanya Helena dengan nada datar.
Jensen mengelus kepala Helena, “…Tidak hari ini,” Katanya sambil menuntun Helena kembali ke laboratorium.
Ketika Wodan mendengar kejadian di desa, di matanya yang kaku itu terlihat sedikit pancaran. Ia menanyakan tiap detilnya dari insiden itu, membuat Jensen sedikit kebingungan dan bertanya-tanya, apa yang akan Wodan lakukan dengan informasi ini? Wodan pun menenangkan Jensen, karena ia akan mengurus desa itu secepatnya. Benar saja, dalam beberapa hari, desa itu rata dengan tanah, dan entah kemana perginya tubuh para penduduk desa itu.
Beberapa hari kemudian, Jensen—yang mulai ketakutan dengan kekuatan Helena—memasukkannya dalam ruang khusus yang temboknya dilapisi logam Nul, yang bisa menetralkan segala fenomena supranatural. Sebenarnya dia tidak memiliki uang untuk membeli beberapa kilogram Nul, namun dengan bantuan modal dari Wodan, Jensen bisa mendapatkannya. Memang setelah insiden di desa itu, Jensen mulai merasa terhantui. Ia yakin bahwa kekuatan yang tersimpan dalam tubuh kecil Helena mungkin jauh lebih besar daripada perkiraannya. Meski demikian, Jensen tetap melanjutkan penelitian, sekali lagi semata-mata demi keingintahuannya.
Setelah penelitian lebih lanjut—terutama di bagian otak, Ditemukan bahwa Helena memiliki banyak gelombang otak dalam kepalanya. Jensen menyimpulkan Helena menyimpan ‘kesadaran’ makhluk yang ia curi di sebuah ‘ruang’ yang berada di dalam kepalanya. Wodan pun mengundang seorang wanita penyihir untuk mengambil pecahan eksistensi Helena, untuk disimpan di dalam sebuah batu merah. Ketika Jensen bertanya untuk apa Wodan melakukan itu, lelaki itu menjawab, ia hanya ingin bereksperimen dengannya. Jensen pun tidak bertanya lebih jauh.
Beberapa minggu kemudian, dengan memeriksa gelombang otak Helena, ia menyadari jumlah ‘kesadaran’ yang Helena simpan semakin banyak. Ia curiga Wodan melakukan sesuatu di belakangnya. Ketika ia bertanya pada Wodan, dengan tenang ia menjawab, menggunakan batu merah itu sebagai medium, ia menghisap kesadaran orang-orang di beberapa desa dan kota. Tercenganglah Jensen mendengar itu. Dari nada bicara Wodan yang terkesan tidak peduli sama sekali terhadap kesadaran manusia, membuat Jensen semakin muak dengan lelaki itu. Tapi di sudut hatinya yang terdalam, ia ingin berterima kasih pada Wodan, karena Jensen merasa semakin dekat ke kebenaran dibalik kekuatan Helena.
Hari yang ditunggu-tunggu pun telah tiba. Jensen berhasil menciptakan sebuah perangkat yang bisa menghubungkan alam dengan ‘ruang’ dalam pikiran Helena dan mengubahnya menjadi energi. Nama mesin itu adalah Einherjar Drive. Setelah memasang mesin tersebut menggunakan kabel yang ditempelkan ke kening Helena, dengan penuh harapan, Jensen menyalakan mesin tersebut. Tanpa diduga-duga pancaran energy yang meluap begitu besar, hingga Einherjar Drive tersebut nyaris rusak karena overload. Yang menjadi sumber kekuatan itu adalah ‘emosi’ yang ada di ‘kesadaran’ yang Helena curi. Kemarahan, kesedihan, dan keputusasaan, tidak berarti apapun bagi Helena selain sebagai sumber energy. Di saat itulah Jensen sepenuhnya menyadari, Helena adalah manusia yang sangat berbahaya.
Jensen yang merasa percobaan ini sudah diluar batas, berkata pada Wodan untuk mengakhiri eksperimen ini. Dengan ekspresi datar, Wodan membalas, kenapa Jensen ingin berhenti, ketika mereka baru sampai di permulaan. Jensen pun bersikeras untuk menghentikan percobaan, yang kemudian membuatnya dikurung oleh Wodan. Lelaki itu dengan sabar menunggu saat Jensen berubah pikiran.
Setelah mendekam dalam kamarnya selama satu bulan, Jensen mendengar seseorang mengebrak masuk ke dalam laboratorium. Penyusup itu, tanpa diduga, berniat membawa pergi Jensen. Ketika pintu kamar Jensen didobrak, yang ia lihat adalah seorang lelaki yang mengenakan topeng badut yang menyebut dirinya sebagai ‘Trickster’, yang kemudian menyuruhnya untuk mengikutinya. Ia berkata ia akan membawa pergi Jensen apapun yang terjadi.
Benar saja, dengan mudah ia menuntun Jensen ke pintu keluar. Namun sebelum Jensen melangkah lebih jauh, ia mengingat sosok Helena. Menyadari bahwa keberadaannya membahayakan, ia berniat untuk membunuhnya. Namun Trickster berkata, saat ini mereka tidak bisa melakukan apapun pada Helena karena penjagaan di kamarnya sangat ketat. Dengan kekecewaan dan penyesalan, Jensen pun meninggalkan laboratoriumnya, dan berniat tidak akan kembali ke sana.

***


5 Maret, pukul 21.30
Ketika Jensen mengakhiri kisahnya, suasana ruangan menjadi hening. Yang pertama kali memecah keheningan adalah Azusa.
“Kau tadi mencoba menembak Archibald dan penyihir bermantel itu… Apa itu bisa menghentikan kemunculan Helena?.”
“Ya. Bagaimanapun juga Helena hanya ‘dipaksa’ untuk muncul. Kalau sumber pemanggilnya dimatikan, dia akan menghilang.”
Ketika Jensen mengakhiri kata-katanya, suasana pun kembali hening, hingga Jensen berbicara lagi.
“Wolfgang Kelly… Aku yakin kata maaf tak akan cukup, setelah kau tahu apa saja yang kulakukan pada Helena. Kau boleh melakukan apapun kepadaku, asal itu bisa membuatmu merasa lebih baik,” Katanya, sambil menunduk dan tidak bertatap muka dengan Wolfgang.
Perhatian Azusa dan Lyncreya pun beralih ke Wolfgang. Pemuda itu tidak berbicara sedikitpun, namun terasa aura yang aneh di sekitarnya. Aura yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Mereka berdua sepertinya khawatir, kalau-kalau Wolfgang lepas control.
“…Tenang saja. Aku tak akan melakukan apa-apa,” Dengan nada tenang, Wolfgang menanggapi.
“Eh…?”
“Apa membunuhmu akan membawa Helena kembali? Tidak, bukan? Aku tidak ingin melakukan sesuatu yang percuma.”
Kemudian, Wolfgang keluar dari kamar itu. Kemudian, menaiki tangga rumah sakit, ia pergi ke atap. Di sana, ia bersandar di pagar pembatas, mencoba untuk tidak memikirkan apapun juga. Tetapi percuma. Dikepalanya hanya ada sosok Helena. Sosok yang terasa begitu dekat, namun begitu jauh. Sosok yang tidak bisa ia raih, sekalipun sudah merentangkan tangan. Sosok yang buram—
“Wolfgang.”
“Oh, ada apa, Kecil?”
Lyncreya muncul di balik pintu atap. Wajahnya terlihat cemas.
“Kau tidak apa-apa?”
Wolfgang menghela nafas, “Haah… Kenapa kau selalu menanyakan itu sih? Apa wajahku sepucat itu?”
Lyncreya menggeleng, “T-tidak, hanya… Setelah mendengar cerita Professor Jensen, kukira kau akan…”
Mereka pun bertatap muka. Lyncreya masih memasang ekspresi khawatir yang sejak tadi ada di wajahnya. Sementara Wolfgang menyipitkan matanya.
“Kau tidak perlu berpikir terlalu jauh. Meskipun, kalau aku boleh jujur, aku sama sekali tidak menyangka Helena dijadikan semacam kelinci percobaan ilmuwan-ilmuwan gila. Tapi pada akhirnya ya Cuma itu saja. Saat ini, aku tidak bisa melakukan apapun juga untuknya.”
“A-aku…!”
“Ha?”
“Aku… Ingin membantumu, Wolfgang.”
Wolfgang mengernyitkan dahi, “Membantu apa?”
“Menemukan Nona Helena!”
“Hah…?”
“Kita akan ringkus para criminal itu, kemudian kita tanyakan pada mereka, di mana Nona Helena berada! Hanya itu… Mungkin hanya itu yang bisa kulakukan untuk membalas budimu.”
Wolfgang menggaruk kepalanya, “Kau tidak perlu sampai repot-repot seperti itu—”
“Wolfgang, kau tidak menyerah bukan?” Lyncreya yang tidak menghiraukan kata-kata Wolfgang, berseru.
“Menyerah?”
“Kau tidak boleh menyerah untuk mendapatkan Nona Helena kembali! Aku… Aku akan membantumu sebisaku!”
Wolfgang menyadari ekspresi Lyncreya yang berubah. Wajah itu menunjukkan tekad yang kuat, semangat yang membara. Wolfgang bisa mengerti, kata-kata yang disampaikan oleh Lyncreya benar-benar berasal dari hatinya. Sebuah tekad yang murni, tidak terkotori keegoisan sama sekali.
Sekali lagi, Wolfgang menghela nafas, “…Kata-katamu seperti kata-kata tokoh utama sebuah komik.”
“E-eeh?”
Wolfgang pun melangkah mendekati Lyncreya. Kemudian ia membelai kepala Lyncreya perlahan, “Aku tidak punya niat untuk menyerah. Seperti katamu, aku akan mendapatkan Helena kembali, apapun yang terjadi. Kata-katamu… Mengingatkanku akan apa yang bisa dan harus aku lakukan. Trims, Kecil.”
Mendengar kata terima kasih dari mulut Wolfgang, Lyncreya memasang senyum yang lebar, “Sama-sama. Meskipun cuma sedikit, aku senang karena bisa membantumu, Wolfgang.”

***

Posted in , , . Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.