5 Maret, pukul 21.00
Di kamar rumah sakit yang
sunyi itu, Wolfgang memandang wajah Holly Day. Wajah yang kelihatan damai itu
sangatlah menipu. Saat ini, berada di manakah kesadaran Holly Day? Apa bisa
membuatnya terbangun lagi? Apa hubungannya dengan Helena? Apa yang sebenarnya
terjadi? Pertanyaan demi pertanyaan muncul, namun tidak ada jawabannya—setidaknya,
Wolfgang tidak memilikinya.
“Wolfgang…” Terdengar suara
Lyncreya di belakangnya, “Professor Jensen sudah bisa ditemui.”
“Oh. Baiklah.”
Wolfgang pun melirik sekali
lagi ke arah Holly sebelum akhirnya berjalan kea rah pintu keluar, melewati
Lyncreya.
“Wolfgang… Kau tidak
apa-apa?” Tanya Lyncreya di tengah perjalanan mereka ke kamar Professor Jensen.
“Memang aku kelihatan
seperti apa?”
“T-tidak, hanya…” Lyncreya
sedikit gagap, “wajahmu kelihatan sedikit pucat.”
“Begitu. Aku tidak apa-apa,
kok. Cuma sedikit penasaran pada cerita professor itu.”
Sesampainya di kamar Jensen,
Lyncreya mengetuk pintu. Suara yang mempersilahkannya masuk adalah suara Azusa.
Di dalam, tepatnya duduk di atas kasur, adalah Professor Jensen yang entah
bagaimana, sudah kelihatan sehat.
“Baiklah, karena semuanya
sudah di sini, aku akan mulai… Tapi sebelumnya, aku ingin memastikan, kau sudah
benar tidak apa-apa, Professor?” Tanya Azusa.
“Sudah kubilang,” Jensen
membuka gaun rumah sakitnya, menunjukkan sebuah tato di dadanya, “dalam tato
ini tersegel sihir regenerasi yang akan aktif ketika aku terluka parah. Hanya
sekali pakai, sih. Aku sama sekali tidak berniat melakukannya setengah-setengah
jika harus berhadapan dengan ‘gadis itu’.”
Azusa mengangguk, “Begitu.
Ngomong-ngomong aku belum memperkenalkan lelaki ini,” Azusa menunjuk Wolfgang, “ini
adalah Wolfgang Kelly.”
Raut wajah Jensen yang
tadinya kelihatan tenang sekarang menegang. Bagaikan memandang hantu, matanya
terbelalak.
“Kau… Kelly…? Apa hubunganmu
dengan Helena…?”
“Aku kakak sulungnya,” Jawab
Wolfgang singkat.
“Begitu ya… Dia… banyak
bicara tentangmu—tidak, tidak hanya kau, tapi seluruh anggota keluarganya. Ia
memang benar-benar menyayangi keluarganya,” Kata Jensen, setengah berbisik.
“Professor Jensen, apa kau
sudah siap berbicara?” Azusa memotong.
“Jadi, apa yang ingin kalian
dengar?”
“Semuanya. Dari hujan debu
yang terjadi belakangan ini hingga yang terjadi sepuluh tahun yang lalu. Juga,
apa hubungannya semua ini dengan Helena Kelly.”
Jensen menghela nafas, “Baiklah
kalau begitu. Memang benar, semuanya mulai terjadi sepuluh tahun yang lalu.
Ketika Helena Kelly datang…”
***
10 tahun yang lalu
Britt Jensen sama sekali
tidak menunggu tamu di hari itu. Karena itulah ia terkejut ketika seseorang
mengetuk pintu laboratoriumnya yang terletak di pedalaman Slovakia. Dengan
segera, ia berjalan menuju ke pintu masuk. Yang muncul di baliknya adalah
seorang lelaki yang mungkin berusia tidak kurang dari tiga puluh lima tahun. Di
sampingnya, seorang gadis kecil berdiri. Melihat dari postur tubuh yang pendek
itu, Jensen berasumsi gadis itu mungkin masih duduk di bangku SD.
“Apa kau pemilik
laboratorium ini? Professor Britt Jensen?” Lelaki itu membuka pembicaraan.
“Ah? I-iya. Ada apa, ya?”
“Kalau aku tidak salah
dengar, kau cukup ahli dalam bidang neurosains, bukan? Aku ingin kau meneliti
anak ini.”
“Anak kecil ini…?” Jensen
melirik gadis kecil itu, yang kemudian membalasnya dengan senyum polos, “Memang
ada apa dengan anak ini?”
“Percaya atau tidak, ia bisa
membaca pikiran.”
Jensen menggaruk kepalanya, “…Maaf,
tapi kurasa aku tidak bisa menganggap serius tentang hal ini. Tolong katakan bahwa
kau cuma bercanda.”
Lelaki itu menjawab dengan ekspresinya
datar, “aku sudah menduga jawaban yang seperti itu,” ia kemudian mengangkat
tangannya dan menggerakkan kelima jarinya, seperti sedang memanggil seseorang, “dan
aku juga sudah siap jika kau membalas demikian.”
Rupanya lelaki itu memanggil
orang-orang berpakaian hitam yang entah sejak kapan berada di halaman
laboratorium Jensen. Mereka sama sekali tidak terlihat bersahabat.
“…Apa maumu?” Tanya Jensen
dengan suara sedikit gemetar.
“Aku sudah bilang bukan? Aku
ingin kau meneliti anak ini. Kalau kau masih tidak percaya, silahkan lakukan
tes pada anak ini. Aku yakin kau akan mendapatkan jawabannya,” Lelaki itu
menjawab.
Setelah itu, Jensen
menghabiskan waktu melakukan tes pada gadis kecil bernama Helena Kelly itu.
Terkejutlah ia ketika menyadari omongan lelaki bernama Wodan Carmichael itu
jujur. Helena Kelly memiliki kemampuan untuk membaca pikiran. Ditambah lagi,
Jensen menyadari bahwa kekuatan Helena tidak hanya itu—ada sebuah kekuatan yang
lebih besar lagi, tersembunyi dalam tubuh gadis kecil itu.
Namun dari segi personality,
Helena tak ubahnya dari seorang gadis berusia tujuh tahun. Bibirnya hampir selalu
membentuk senyum. Ia juga sering bercerita tentang keluarganya. Ia bilang, ia
sudah merindukan ayah, ibu, dan kakak-kakaknya. Menurut Wodan yang ia panggil ‘Paman’,
ia baru bisa bertemu dengan keluarganya setelah penelitian ini selesai.
“Aku sudah tidak sabar
bertemu keluargaku. Karena itulah aku akan berjuang sekeras mungkin menjalani
semua ini. Ah, Pak Jensen, kau nanti akan kukenalkan pada keluargaku! Tenang
saja, mereka orang-orang baik kok!” Kata Helena suatu hari.
Melihat sosok penuh senyum
Helena, hati Jensen terasa teriris-iris. Ia tahu, Wodan takkan membiarkannya
pulang. Gadis itu akan terus berada di sini, menjalani tes demi tes dan eksperimen.
Di satu sisi di hatinya, Jensen tidak ingin melakukan apapun pada Helena. Namun
keingintahuan menggerogoti tubuhnya, menghilangkan nuraninya. Jensen pun
menuruti perintah Wodan untuk melakukan eksperimen pada Helena, agar gadis itu
bisa memaksimalkan kekuatan yang ada dalam dirinya.
Dalam waktu beberapa bulan,
eksperimen Jensen menghasilkan kenyataan baru tentang kekuatan Helena. Pada
sebuah eksperimen yang melibatkan seekor tikus, terbukti bahwa Helena bisa
mengendalikan pikiran tikus itu, hingga akhirnya merebut kesadarannya. Tikus
itu masih hidup, namun tidak bisa terbangun dari tidurnya. Jensen dan para
rekannya pun kebingungan. Kemana kesadaran tikus itu pergi?
Sementara pertanyaan itu terus
mengambang di pikiran para peneliti, suatu hari, penjagaan atas Helena melemah.
Gadis itupun menghilang dari laboratorium. Jensen dan yang lainnya pun bagai
kebakaran jenggot. Setelah pencarian di seluruh penjuru laboratorium tidak
menghasilkan apapun, Jensen dan yang lainnya berencana untuk pergi ke desa
terdekat.
Ketika mereka hampir sampai
di desa itu, terlihat pemandangan yang aneh. Di desa itu sepertinya turun
semacam hujan debu yang berkilauan. Sebuah pemandangan yang indah, yang
ironisnya juga kelihatan menakutkan. Sesuatu yang seperti bukan dari dunia ini.
Sesampainya di desa itu,
hujan debu itu sudah berhenti. Namun, Jensen dan yang lainnya menemukan para
penduduk desa itu tergeletak di jalanan. Kondisi mereka, bisa dibilang sama
dengan kondisi tikus yang digunakan ketika eksperimen—tanpa kesadaran.
Jensen pun menemukan Helena
di tengah desa, di tengah-tengah segerombolan orang yang tergeletak di tanah.
Wajahnya kelihatan sedih.
“Pak Jensen… Kenapa mereka
semua tertidur? Kenapa mereka tidak ingin bicara denganku…?” Tanya Helena
dengan nada datar.
Jensen mengelus kepala
Helena, “…Tidak hari ini,” Katanya sambil menuntun Helena kembali ke
laboratorium.
Ketika Wodan mendengar
kejadian di desa, di matanya yang kaku itu terlihat sedikit pancaran. Ia
menanyakan tiap detilnya dari insiden itu, membuat Jensen sedikit kebingungan
dan bertanya-tanya, apa yang akan Wodan lakukan dengan informasi ini? Wodan pun
menenangkan Jensen, karena ia akan mengurus desa itu secepatnya. Benar saja,
dalam beberapa hari, desa itu rata dengan tanah, dan entah kemana perginya
tubuh para penduduk desa itu.
Beberapa hari kemudian,
Jensen—yang mulai ketakutan dengan kekuatan Helena—memasukkannya dalam ruang
khusus yang temboknya dilapisi logam Nul, yang bisa menetralkan segala fenomena
supranatural. Sebenarnya dia tidak memiliki uang untuk membeli beberapa
kilogram Nul, namun dengan bantuan modal dari Wodan, Jensen bisa
mendapatkannya. Memang setelah insiden di desa itu, Jensen mulai merasa
terhantui. Ia yakin bahwa kekuatan yang tersimpan dalam tubuh kecil Helena
mungkin jauh lebih besar daripada perkiraannya. Meski demikian, Jensen tetap
melanjutkan penelitian, sekali lagi semata-mata demi keingintahuannya.
Setelah penelitian lebih
lanjut—terutama di bagian otak, Ditemukan bahwa Helena memiliki banyak
gelombang otak dalam kepalanya. Jensen menyimpulkan Helena menyimpan ‘kesadaran’
makhluk yang ia curi di sebuah ‘ruang’ yang berada di dalam kepalanya. Wodan
pun mengundang seorang wanita penyihir untuk mengambil pecahan eksistensi
Helena, untuk disimpan di dalam sebuah batu merah. Ketika Jensen bertanya untuk
apa Wodan melakukan itu, lelaki itu menjawab, ia hanya ingin bereksperimen
dengannya. Jensen pun tidak bertanya lebih jauh.
Beberapa minggu kemudian,
dengan memeriksa gelombang otak Helena, ia menyadari jumlah ‘kesadaran’ yang
Helena simpan semakin banyak. Ia curiga Wodan melakukan sesuatu di belakangnya.
Ketika ia bertanya pada Wodan, dengan tenang ia menjawab, menggunakan batu
merah itu sebagai medium, ia menghisap kesadaran orang-orang di beberapa desa
dan kota. Tercenganglah Jensen mendengar itu. Dari nada bicara Wodan yang
terkesan tidak peduli sama sekali terhadap kesadaran manusia, membuat Jensen
semakin muak dengan lelaki itu. Tapi di sudut hatinya yang terdalam, ia ingin
berterima kasih pada Wodan, karena Jensen merasa semakin dekat ke kebenaran
dibalik kekuatan Helena.
Hari yang ditunggu-tunggu
pun telah tiba. Jensen berhasil menciptakan sebuah perangkat yang bisa
menghubungkan alam dengan ‘ruang’ dalam pikiran Helena dan mengubahnya menjadi
energi. Nama mesin itu adalah Einherjar Drive. Setelah memasang mesin tersebut
menggunakan kabel yang ditempelkan ke kening Helena, dengan penuh harapan,
Jensen menyalakan mesin tersebut. Tanpa diduga-duga pancaran energy yang meluap
begitu besar, hingga Einherjar Drive tersebut nyaris rusak karena overload. Yang menjadi sumber kekuatan
itu adalah ‘emosi’ yang ada di ‘kesadaran’ yang Helena curi. Kemarahan,
kesedihan, dan keputusasaan, tidak berarti apapun bagi Helena selain sebagai
sumber energy. Di saat itulah Jensen sepenuhnya menyadari, Helena adalah
manusia yang sangat berbahaya.
Jensen yang merasa percobaan
ini sudah diluar batas, berkata pada Wodan untuk mengakhiri eksperimen ini.
Dengan ekspresi datar, Wodan membalas, kenapa Jensen ingin berhenti, ketika
mereka baru sampai di permulaan. Jensen pun bersikeras untuk menghentikan
percobaan, yang kemudian membuatnya dikurung oleh Wodan. Lelaki itu dengan
sabar menunggu saat Jensen berubah pikiran.
Setelah mendekam dalam
kamarnya selama satu bulan, Jensen mendengar seseorang mengebrak masuk ke dalam
laboratorium. Penyusup itu, tanpa diduga, berniat membawa pergi Jensen. Ketika
pintu kamar Jensen didobrak, yang ia lihat adalah seorang lelaki yang
mengenakan topeng badut yang menyebut dirinya sebagai ‘Trickster’, yang
kemudian menyuruhnya untuk mengikutinya. Ia berkata ia akan membawa pergi
Jensen apapun yang terjadi.
Benar saja, dengan mudah ia
menuntun Jensen ke pintu keluar. Namun sebelum Jensen melangkah lebih jauh, ia
mengingat sosok Helena. Menyadari bahwa keberadaannya membahayakan, ia berniat
untuk membunuhnya. Namun Trickster berkata, saat ini mereka tidak bisa
melakukan apapun pada Helena karena penjagaan di kamarnya sangat ketat. Dengan
kekecewaan dan penyesalan, Jensen pun meninggalkan laboratoriumnya, dan berniat
tidak akan kembali ke sana.
***
5 Maret, pukul 21.30
Ketika Jensen mengakhiri
kisahnya, suasana ruangan menjadi hening. Yang pertama kali memecah keheningan
adalah Azusa.
“Kau tadi mencoba menembak
Archibald dan penyihir bermantel itu… Apa itu bisa menghentikan kemunculan Helena?.”
“Ya. Bagaimanapun juga
Helena hanya ‘dipaksa’ untuk muncul. Kalau sumber pemanggilnya dimatikan, dia
akan menghilang.”
Ketika Jensen mengakhiri
kata-katanya, suasana pun kembali hening, hingga Jensen berbicara lagi.
“Wolfgang Kelly… Aku yakin
kata maaf tak akan cukup, setelah kau tahu apa saja yang kulakukan pada Helena.
Kau boleh melakukan apapun kepadaku, asal itu bisa membuatmu merasa lebih baik,”
Katanya, sambil menunduk dan tidak bertatap muka dengan Wolfgang.
Perhatian Azusa dan Lyncreya
pun beralih ke Wolfgang. Pemuda itu tidak berbicara sedikitpun, namun terasa
aura yang aneh di sekitarnya. Aura yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Mereka berdua sepertinya khawatir, kalau-kalau Wolfgang lepas control.
“…Tenang saja. Aku tak akan
melakukan apa-apa,” Dengan nada tenang, Wolfgang menanggapi.
“Eh…?”
“Apa membunuhmu akan membawa
Helena kembali? Tidak, bukan? Aku tidak ingin melakukan sesuatu yang percuma.”
Kemudian, Wolfgang keluar
dari kamar itu. Kemudian, menaiki tangga rumah sakit, ia pergi ke atap. Di sana,
ia bersandar di pagar pembatas, mencoba untuk tidak memikirkan apapun juga.
Tetapi percuma. Dikepalanya hanya ada sosok Helena. Sosok yang terasa begitu
dekat, namun begitu jauh. Sosok yang tidak bisa ia raih, sekalipun sudah
merentangkan tangan. Sosok yang buram—
“Wolfgang.”
“Oh, ada apa, Kecil?”
Lyncreya muncul di balik
pintu atap. Wajahnya terlihat cemas.
“Kau tidak apa-apa?”
Wolfgang menghela nafas, “Haah…
Kenapa kau selalu menanyakan itu sih? Apa wajahku sepucat itu?”
Lyncreya menggeleng, “T-tidak,
hanya… Setelah mendengar cerita Professor Jensen, kukira kau akan…”
Mereka pun bertatap muka.
Lyncreya masih memasang ekspresi khawatir yang sejak tadi ada di wajahnya.
Sementara Wolfgang menyipitkan matanya.
“Kau tidak perlu berpikir terlalu
jauh. Meskipun, kalau aku boleh jujur, aku sama sekali tidak menyangka Helena
dijadikan semacam kelinci percobaan ilmuwan-ilmuwan gila. Tapi pada akhirnya ya
Cuma itu saja. Saat ini, aku tidak bisa melakukan apapun juga untuknya.”
“A-aku…!”
“Ha?”
“Aku… Ingin membantumu,
Wolfgang.”
Wolfgang mengernyitkan dahi,
“Membantu apa?”
“Menemukan Nona Helena!”
“Hah…?”
“Kita akan ringkus para criminal
itu, kemudian kita tanyakan pada mereka, di mana Nona Helena berada! Hanya itu…
Mungkin hanya itu yang bisa kulakukan untuk membalas budimu.”
Wolfgang menggaruk
kepalanya, “Kau tidak perlu sampai repot-repot seperti itu—”
“Wolfgang, kau tidak
menyerah bukan?” Lyncreya yang tidak menghiraukan kata-kata Wolfgang, berseru.
“Menyerah?”
“Kau tidak boleh menyerah
untuk mendapatkan Nona Helena kembali! Aku… Aku akan membantumu sebisaku!”
Wolfgang menyadari ekspresi
Lyncreya yang berubah. Wajah itu menunjukkan tekad yang kuat, semangat yang
membara. Wolfgang bisa mengerti, kata-kata yang disampaikan oleh Lyncreya
benar-benar berasal dari hatinya. Sebuah tekad yang murni, tidak terkotori
keegoisan sama sekali.
Sekali lagi, Wolfgang
menghela nafas, “…Kata-katamu seperti kata-kata tokoh utama sebuah komik.”
“E-eeh?”
Wolfgang pun melangkah
mendekati Lyncreya. Kemudian ia membelai kepala Lyncreya perlahan, “Aku tidak
punya niat untuk menyerah. Seperti katamu, aku akan mendapatkan Helena kembali,
apapun yang terjadi. Kata-katamu… Mengingatkanku akan apa yang bisa dan harus
aku lakukan. Trims, Kecil.”
Mendengar kata terima kasih
dari mulut Wolfgang, Lyncreya memasang senyum yang lebar, “Sama-sama. Meskipun
cuma sedikit, aku senang karena bisa membantumu, Wolfgang.”
***