Rain of Dust - Chapter 7




5 Maret, pukul 19.00

Profesor Jensen menatap revolver berisi penuh di genggamannya. Di hatinya ada sedikit keraguan, apa bisa ia menghentikan mereka? Namun ia menyingkirkan pikiran itu, karena bagaimanapun juga ia harus berhasil menghentikan mereka yang menggunakan ‘dia’ yang tak lain diciptakan olehnya.
Ia kemudian melihat ke luar, ke arah kota yang mulai kehilangan kehidupannya seiring dengan matahari yang tenggelam. Siang ini, hujan debu lagi-lagi terjadi, dan memakan cukup banyak korban. Jensen terlambat mengetahuinya, sehingga ia tidak tiba di sana tepat waktu. Ia berpikir dengan keras, bagaimana ia bisa tiba tepat waktu pada hujan debu berikutnya?

Kemudian, ia mendengar telepon berbunyi. Ketika mengangkatnya, terdengar suara wanita yang akrab di telinganya.
“Halo, Profesor~”
“Freya #2 ya. Ada apa?”
Dengan suara ceria, wanita itu menjawab, “Malam ini, ada kemungkinan hujan debu akan terjadi di daerah timur kota.”
Jensen terbelalak, “B-bagaimana kau bisa tahu?”
“Maaf, tapi aku tidak bisa memberitahumu. Yang pasti, kemungkinan hal ini terjadi sekitar 90 %. Bagaimana? Kurasa itu cukup meyakinkan, bukan?”
Jensen mengepalkan tangannya. Begitu mengetahui kapan ia harus bergerak, entah mengapa ia merasa sedikit gugup. Dipandangnya lagi revolver di tangannya. Apa ia bisa membunuh ‘dia’?
“Ada apa, Professor? Apa kau takut? Apa kau segan untuk bertemu dengan ciptaanmu lagi?” Seakan membaca pikiran Jensen, wanita itu berkomentar.
“Jangan bercanda!” Jensen berseru, meski suaranya sedikit gemetar, “Aku yang menciptakan makhluk itu, maka akulah yang harus bertanggung jawab!”
Wanita itu tertawa, “Ahahaha, semangat yang bagus. Doaku bersamamu, Professor. Kuharap kau sukses,” Katanya sambil menutup telepon.
Jensen melirik ke arah jam dinding. Menurutnya, kegelapan seharusnya sudah menyelimuti Kota San Cielo. Itu berarti ia harus segera bergerak.
“Aku… harus berhasil,” Kata Jensen pada dirinya sendiri, sambil mengambil mantelnya dan keluar dari kamar hotelnya.

***

5 Maret, pukul 20.00

Ketika Wolfgang dan Lyncreya sampai di dekat TKP, jalan sudah ditutup oleh sekumpulan mobil polisi. Wolfgang dan Lyncreya pun segera turun dari bus. Mereka berdua dihampiri oleh Azusa dan Kenji yang entah sejak kapan sudah berada di situ.
“Wolfgang! Lyn! Kalian datang tepat waktu.”
“Bagaimana kondisi di sini, Nona Mikawa? Dan apa yang dilakukan polisi di tempat ini?” Tanya Lyncreya.
“Yah, aku minta tolong pada mereka untuk mengevakuasi orang-orang di sekitar TKP, dan memblokir jalan agar tidak ada orang yang bisa masuk. Lumayanlah, mengurangi beberapa calon korban. Meskipun kondisi di sana sudah cukup kacau sih… Menurut Horatio yang mengintai dari udara, sihir pemanggilan dilakukan tepat di tengah-tengah distrik, di sebuah perempatan jalan. Aku tidak tahu kenapa mereka melakukannya di luar, seakan mencoba menarik perhatian. Aku curiga ini adalah jebakan…”
Wolfgang memotong pembicaraan, “Apa yang kita tunggu? Mau jebakan atau tidak, tidak ada gunanya kalau kita cuma berdiam di sini. Ayo segera masuk.”
“Haah, sudah kuduga kau tidak akan peduli dengan itu… Kita akan masuk, tapi sebelumnya, ambilah ini,” Azusa menyodorkan dua buah benda kecil yang berbentuk trapesium, yang di depannya tertempel tulisan yang sepertinya terususn oleh huruf kanji, “Ini adalah jimat penangkal hipnotis. Mungkin setidaknya ini bisa membantu kita menghalau efek dari hujan debu itu.”
Wolfgang dan Lyncreya masing-masing mengambil satu, dan memasukkannya ke kantong jaket mereka.
“Nona Mikawa, bagaimana dengan Nona McFayt?” Tanya Lyncreya.
“Aku tidak bisa menghubunginya, Horatio juga tidak menemukannya. Aku memutuskan untuk tidak mengejarnya lebih lanjut karena kondisi di sini masih kritis. Setidaknya, aku punya kalian berdua.”
“Ayo bergerak!” Seperti seorang bocah yang tidak sabar keluar dari kelas waktu istirahat, Wolfgang berlari melewati mobil polisi yang memblokir jalan. Dibelakangnya, Lyncreya, Azusa, dan Kenji menyusul.
Melihat Kenji membawa sebuah koper, Lyncreya bertanya, “Nona Mikawa, apa isi koper itu?”
Azusa tersenyum dengan wajah bangga, “Itu senjata rahasiaku, yang baru saja kuambil. Kau akan lihat kekuatannya nanti.”
Mereka berempat terus menyusuri jalan, menuju ke pusat distrik. Wolfgang bisa melihat para korban hujan debu berserakan di jalanan. Mungkin karena belum terlalu malam, sehingga masih banyak orang yang berada di luar.
Beberapa meter kemudian, Wolfgang bisa melihat sekumpulan golem raksasa menghalangi jalan mereka. Secara reflek, Wolfgang menengok ke arah Lyncreya, dengan tatapan mata yang seakan berkata, saatnya beraksi. Lyncreya mengangguk, dan berlari ke samping Wolfgang. Namun sebelum mencapai para golem itu, seseorang menggenggam bahu Wolfgang.
“Kalian tidak perlu menghabiskan tenaga di sini. Biarkan aku membereskan mereka!”
Rupanya Azusa, yang membawa koper aluminium yang sejak tadi dibawa Kenji. Ia membuka koper itu, dan melemparnya begitu saja ke tanah. Koper itu rupanya berisi dua buah batu besar yang bentuknya mirip dengan lambang yin dan yang.
“A-apa itu…?” Tanya Lyncreya.
“Ini adalah Magatama raksasa, senjata andalanku. Menyingkirlah, Wolfgang! Lyn!” Seru Azusa sambil melambaikan kedua tangannya ke samping.
Azusa kemudian menutup mata, dan mulutnya berkomat-kamit, seperti sedang membaca mantera. Sesaat kemudian, batu dalam koper itu mulai melayang dan mengorbit di sekitar Azusa, seperti sebuah prisai pelindung.
“Terima ini!!” Azusa berseru sambil melompat ke depan. Tangan kanannya ia rentangkan ke depan, kemudian ia memutar tubuhnya dan merentangkan tangan kirinya. Bersamaan dengan itu, kedua magatama yang mengitarinya melesat dengan kecepatan tinggi ke arah para golem yang menghalangi jalan. Keduanya mengenai golem yang berada di sebelah kanan. Benturan yang keras dari kedua magatama itu membuatnya terlempar ke belakang, dan hancur berkeping-keping ketika membentur tanah.
“He-hebat!” Komentar Lyncreya dengan tatapan kagum.
“Ini belum apa-apa!” Azusa berkoar-koar sambil melangkah kedepan dan memutarkan tubuhnya. Melihat gerakan Azusa, seperti sedang menyaksikan sebuah tarian.
Kemudian, magatama yang tadi menghancurkan golem yang berada di sebelah kanan, mulai beterbangan lagi, kali ini dengan memisah. Mengikuti ‘tarian’ Azusa, Magatama yang berwarna putih menghantam kepala golem tersebut, sementara magatama yang berwarna hitam menyerang tubuhnya. Usai serangan bersama itu, golem yang berada di sebelah kiri itu tumbang.
“Ayo lanjutkan perjalanan! Sudah tidak jauh lagi!” Kata Azusa sambil mulai kembali berlari, diikuti oleh Wolfgang, Lyncreya dan Kenji.
Setelah berlari selama dua menit, mereka pun sampai di perempatan yang dimaksud Horatio. Di tengah-tengah perempatan itu, ada seseorang yang berdiri di atas sebuah lingkaran sihir.
“Mereka pasti sedang melakukan sihir pemanggilan itu… Kalau kita bisa menghentikannya, hujan debu ini akan berhenti!” Seru Lyncreya.
Mereka terus belari maju kalau saja dua golem baru tidak menghentikan langkah mereka.
“Akan kualihkan perhatian mereka! Wolfgang dan Lyn, lewati mereka dan taklukkan penyihir itu!” Azusa menyusul Wolfgang dan Lyncreya, kemudian memasang kuda-kuda bertarung.
Roger!” Lyncreya menimpali. Ia dan Wolfgang pun terus berlari.
Sementara, Azusa mulai berputar lagi. Merentangkan kedua tangannya, kedua magatama itu seakan menari di udara, seraya menghantam kedua golem itu berkali-kali. Namun melihat dari kondisi kedua golem itu yang masih bisa berdiri, sepertinya mereka lebih kuat dari golem-golem sebelumnya.
“Ayoooo!”
Tetapi itu bukan masalah bagi Azusa yang tujuannya hanya untuk menarik perhatian kedua golem itu. Berkat Azusa, Wolfgang dan Lyncreya sudah melewati kedua golem itu, dan hanya berjarak sejauh sepuluh meter dari tengah perempatan.
“Sedikit lagi—Eh?!” Ujar Lyncreya ketika melihat seseorang menghadang langkah mereka. Rupanya lelaki botak yang waktu itu menyerang mereka—Choi Wan.
“Aku tidak akan membiarkan kalian melangkah lebih jauh, bocah-bocah!” Serunya berkoar-koar.
“Wolfgang, bagaimana—”
Sebelum Lyncreya menyelesaikan kata-katanya, Wolfgang memotong, “Biar aku saja. Kau mundurlah sedikit.”
“Eh?” Sementar Lyncreya kebingungan, Wolfgang melewatinya dan berlari tepat ke depan Choi.
Bersamaan dengan itu, Choi juga melangkah maju, “Oh? Kau mau maju sendirian, bocah? Kau akan menyesalinya!”
Wolfgang tidak menanggapi kata-kata Choi, dan mulai menarik tangan kanannya kebelakang sambil terus berlari.
“Kita selesaikan semuanya dalam satu serangan ini!!” Choi yang semakin dekat dengan Wolfgang, berteriak sambil menyiapkan bogem mentahnya.
“Botak cerewet!”
Tinju mereka berdua pun beradu. Choi yang menggunakan sihir untuk memepercepat tinjunya, menyimpan momentum yang lebih besar daripada tinju Wolfgang. Namun entah kenapa, tangannya gemetar. Akhirnya, tangannya terhempas ke belakang.
“A-aku kalah!? Bagaimana mungkin?!”
“Tinjumu memang cepat, tapi tinjuku jauh lebih kuat darimu. Seperti apapun kondisinya, kalau beradu, tentu saja aku yang menang.”
Choi yang pertahanannya terbuka lebar, menjerit, “Sialaaaaaan!”
“Sudah kubilang, kau terlalu banyak omong, Botak!” Usai menarik tangan kanannya kebelakang sekali lagi, Wolfgang pun melancarkan jab langsung ke tengah-tengah wajah Choi, membuatnya berputar kemudian menghantam tanah. Choi kemudian tak bergerak lagi. Wolfgang dan Lyncreya pun melewatinya.
“Hebat, Wolfgang!”
“Tidak ada waktu untuk perayaan! Gunakan sihirmu untuk menghentikan penyihir itu!” Ujar Wolfgang kepada Lyncreya sambil terus berlari. Jarak mereka dengan penyihir itu tak lebih dari lima meter.
Lyncreya menelan ludah, “Roger!” Kemudian membuka telapak tangannya di udara. Perlahan, terbentuk tombak es sepanjang setengah meter. Begitu pembentukkannya usai, Lyncreya langsung melemparkan tombak itu ke arah penyihir yang berada di tengah-tengah itu.
Tombak itu nyaris saja mengenai penyihir itu kalau saja seorang lelaki tidak muncul di depan penyihir itu dan menghalaunya dengan tangannya.
“B-bagaimana bisa?!”
“Orangnya terus-terusan bertambah…! Merepotkan!” Melihat tombak es Lyncreya ditaklukkan, Wolfgang kembali berlari. Ia pun mengepalkan tangannya, bersiap untuk memukul.
“Haaaaah!” Dengan cepat, Wolfgang melancarkan hook ke arah lelaki itu. Namun bagaikan ada tembok yang menghalanginya, tinju Wolfgang berhenti sekitar lima centimeter di depan lelaki itu.
“Apa-apaan!?”
“Kau lengah, Wolfgang Kelly.”
Setelah memanggil nama Wolfgang, dengan tangan kanannya, lelaki itu bergerak seperti sedang mendorong sesuatu. Tiba-tiba, sesuatu yang keras menghantam perut Wolfgang dan melemparkannya kebelakang.
“Urgh…!”
“Sudah lama sekali, ya?”
“Siapa kau….?!” Masih terduduk di aspal, Wolfgang bertanya-tanya mengapa lelaki itu mengenali dirinya.
“Kau mungkin lupa,” Kata lelaki itu, dengan nada yang terdengar sombong dan meninggikan diri, “Jadi biar kuperkenalkan diriku. Namaku Archibald Carmichael.”

***

5 Maret, pukul 20.15

“Wolfgang! Kau tidak apa-apa?” Ujar Lyncreya sambil menghampiri Wolfgang yang terduduk di aspal.
“Siapa? Aku tidak mengenalimu.” Perhatian Wolfgang masih terpusat pada lelaki di depannya itu.
“Kalau itu tidak membuatmu teringat, biar kukatakan,” Masih dengan nada yang terdengar sombong, lelaki bernama Archibald itu melanjutkan, “Aku anak dari Wodan Carmichael.”
Mendengar nama itu disebut, Lyncreya bisa melihat bola mata Wolfgang mengecil. Matanya membelalak. Ekspresi kemarahan perlahan-lahan muncul di wajahnya. Ia menggertakkan giginya, kemudian bangkit dan menyerang lelaki itu. Namun, tinju Wolfgang lagi-lagi tidak mencapai lelaki itu, karena terhalang sebuah tembok yang tak terlihat.
“Apa…” Wolfgang berkata lirih.
“Hm?”
“Apa yang kalian lakukan… Pada Helena!?”
Wolfgang kemudian melancarkan tinju bertubi-tubi ke arah Archibald. Tetapi tetap saja tidak bisa menembus tembok yang tak terlihat itu.
“Ahahaha! Rupanya kau masih menyimpan dendam atas hal itu? Yah, itu sama sekali tidak mengejutkanku. Bagaimanpun juga, keluargamu yang ‘terkutuk’ itu harus dihancurkan. Sedangkan untuk Helena Kelly… Makhluk yang hanya bisa memikul keburukan di pundaknya tidak pantas untuk hidup di dunia ini.”
“Apa katamu…!?”
Wolfgang semakin mempercepat dan memperkuat tinjunya, namun keadaan tidak berubah.
“Kalau kau sebegitu penasarannya pada apa yang terjadi pada Helena Kelly, kenapa kau tidak langsung saja bertanya pada orangnya?”
“Eh?” Wolfgang dan Lyncreya berkata nyaris bersamaan. Kemudian sesosok gadis muncul begitu saja di belakang Archibald. Gadis itu terlihat mirip dengan gadis yang ada di foto yang dibawa Wolfgang. Lyncreya pun berasumsi, gadis itu adalah Helena Kelly.
“Helena!” Panggil Wolfgang. Namun tidak ada reaksi dari Helena.
“Haaaaaaaaaaaaaargh!”
Tiba-tiba, dari belakang mereka, terdengar teriakan. Rupanya teriakan itu berasal dari Choi yang sudah sadarkan diri. Lyncreya terkejut lelaki itu masih sadar, ketika wajahnya nyaris hancur setelah terkena pukulan telak Wolfgang.
“Bocah…. Aku belum mati…! Pertarungan belum usai….!!” Teriaknya dengan suara serak.
“Si Botak itu masih saja—eh?”
Mendadak Helena yang tadinya berdiri di belakang Archibald, berpindah tempat ke depan Choi. Helena menyentuh kepala Choi, kemudian lelaki itu kehilangan kesadaran dan terjatuh begitu saja bagaikan sebuah balok kayu.
“A-apa yang sedang terjadi…?!” Lyncreya yang kebingungan, setengah berbisik.
Sedetik kemudian, Helena kembali muncul di belakang Archibald.
“Helena!” Wolfgang mencoba memanggil sosok adiknya, namun tidak ada reaksi.
“Dia tidak akan mendengarmu, Wolf—”
“Jangan bergerak.”
Terdengar suara dari belakang Archibald. Seorang lelaki tua tiba-tiba muncul dan menodongkan sebuah revolver ke arah Helena. Lelaki tua dengan wajah yang kelihatan lesu dan pucat. Lyncreya mengenali lelaki itu sebagai Britt Jensen, ilmuwan yang mereka cari-cari.
“Jangan bergerak, Anak Wodan.”
Archibald yang tidak kelihatan terkejut, berbalik, “Oh, rupanya Professor Jensen. Kukira siapa. Apa yang sedang kau lakukan, Professor?”
“Kau harusnya sudah tahu ketika kau melihat revolver ini. Aku tidak akan membiarkanmu menggunakannya untuk tujuan seperti ini. Akulah yang menciptakannya, maka akulah yang harus bertanggung jawab atas apa yang disebabkan olehnya.”
“Bagiku, sebaliknya. Helena Kelly memiliki kekuatan untuk ‘menggerakkan’ dunia ini. Ia bisa menyebabkan gejolak di dunia ini, merubahnya hanya dalam waktu singkat.”
Air muka Jensen pun berubah murka, “Seharusnya, orang yang memegang kekuatan sebanyak itu tidak boleh dibiarkan hidup!”
Jensen pun menembakkan revolvernya, namun pelurunya tertahan oleh ‘tembok’ yang mengelilingi Archibald.
“Minggir dari situ, Anak Wodan!”
“Jangan bercanda, Professor…”
 Kemudian, ketika Jensen berniat menembakkan revolvernya lagi, gerakannya terhenti karena sebuah pedang menembus dadanya. Jensen pun memuntahkan darah, tidak bisa bergerak sama sekali.
“Kerja bagus, C.C. Tapi kau agak terlambat.”
“Maafkan aku, Tuan Archibald.”
Rupanya yang menusuk Jensen adalah seorang wanita yang berdiri di belakangnya. Wanita—dengan tangan yang berbentuk seperti pedang. Wanita itupun mencabut pedang—tangannya, membiarkan Jensen yang bermandikan darah jatuh ke aspal.
“Jangan salah sangka, Professor. Aku sangat berterima kasih atas ciptaanmu. Tapi, peranmu cukup berakhir di situ saja.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Archibald, Helena, wanita yang dipanggil C.C. dan penyihir bermantel itu menghilang begitu saja.
“Apa… Yang sebenarnya terjadi…?” Lyncreya yang pikirannya kosong, tidak bisa memahami apa yang terjadi di depan matanya. Panggilan Wolfgang mengembalikan pikirannya.
“Kecil! Kau bisa melakukan penyembuhan bukan?! Cepat berikan pertolongan pada orang tua itu!” Seru Wolfgang.
“A-ah! Baik!” Lyncreya pun langsung berlari ke tempat Jensen yang tergeletak di kubangan darah. Dengan seluruh tenaganya, ia berusaha menutup luka di dada Jensen. Di pikirannya, sekilas ia melihat sosok Archibald, yang membuatnya bertanya-tanya, siapa lelaki itu? Namun kemudian Lyncreya menggelengkan kepalanya, dan mencoba untuk fokus pada penyembuhan Jensen, karena mungkin lelaki tua ini adalah harapan terakhir untuk memecahkan kasus yang rumit ini.

***

Posted in , , . Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.