5 Maret, pukul 11.00
“Kita sampai!”
Wolfgang, Lyncreya dan Raulia berhenti di depan sebuah
gedung parkir yang kelihatan kuno. Melihat dari loket yang kelihatan rusak dan
tidak adanya satupun mobil di tempat itu meyakinkan Lyncreya bahwa gedung itu
sudah tidak dipakai lagi.
“Jadi di sini, lokasi pancaran energi magis yang aneh itu?”
Raulia dengan cepat menjawab Lyncreya, “Menurut laporan
Horatio, begitulah.”
Mereka bertiga pun berjalan masuk, sebelum Wolfgang
tiba-tiba berhenti.
“Eh? Ada
apa, Wolfgang?” Tanya Lyncreya.
“…Kurasa akan di luar
saja.”
“Eeeh? Kenapa?”
Raulia memotong dengan setengah tertawa, “Inferiority Complex-mu kumat yah?”
“Apaan itu. Aku hanya
merasa tidak akan berguna dalam kegiatan
investigasi seperti ini. Kurasa lebih baik
tidak ikut,” Wolfgang menjawab dengan tenang.
“Tapi, Wolfgang…”
“Biarkan saja, hehehe,” Raulia menjawab, masih dengan
setengah tertawa, “Dia tahu kalau dia ikut, dia akan mengganggu saja. Kita
harus memanfaatkan kebaikannya.”
“B-begitu ya?”
Wolfgang menggaruk kepalanya, “Terserahlah kau mau bilang
apa. cuma tidak ingin ikut masuk. Itu
saja. Telepon jika urusan kalian sudah
selesai,” Katanya sambil berbalik dan berjalan menjauh. Lyncreya hanya terdiam
memandang punggung Wolfgang.
“Ayo masuk, Lyn.”
“Ah, iya!” Lyncreya menyusul Raulia yang sudah masuk ke
dalam.
Secara reflek, Lyncreya memeriksa lingkungan di sekitarnya.
Yang bisa ia rasakan hanyalah udara yang penuh debu. Yang bisa ia lihat adalah
tembok-tembok yang retak serta reruntuhan di lantai. Tempat ini benar-benar diasingkan, pikirnya.
Di lantai dua, Raulia menyeletuk, “ sedikit kecewa Azu-nee tidak bisa ikut.”
“Tapi, dia bilang dia ada urusan, bukan? Mengambil sesuatu,
serta memeriksa identitas lelaki yang menyerang kita kemarin.”
Raulia memasang ekspresi masam, “Iya, sih…”
“Kurasa lebih baik kita berbagi tugas, memanfaatkan jumlah
kita sebaik mungkin untuk mendapatkan hasil yang maksimal,” Lanjut Lyncreya.
Masih dengan ekspresi masam di wajahnya, Raulia tidak
menjawab. Ia hanya mengangguk pelan.
Di lantai tiga, Lyncreya memutuskan untuk sedikit
berbasa-basi dengan Raulia, “Aku penasaran, bagaimana kalian bertemu.”
“Siapa?”
“Kau dan Wolfgang.”
Raulia terdiam sejenak, kemudian menjawab, “Sama sekali
bukan hal yang besar. Kurasa dua tahun yang lalu, ketika nama Wolfgang Kelly
mulai tenar di kalangan para pemburu bayaran. Karena kudengar dia tidak punya
manager, aku pun menemuinya dan menawarkan diri. Dia menerimanya. Begitulah.”
“Eh? Cuma begitu? Kukira ada kisah yang dramatis yang
melatar belakangi pertemuan kalian.”
Raulia tertawa, “Ahahaha! Imajinasimu terlalu liar. Bisa
dibilang, Aku sangat jarang bertatap muka dengan Wolf. lebih sering menggunakan telepon atau SMS.
Wolf juga lebih memilih seperti itu. Jadi pekerjaan kali ini cukup unik untuk
kami.”
“Jarang bertemu… Apa itu tidak mempengaruhi hubungan
kepercayaan kalian?”
“Sama sekali tidak,” Raulia menggeleng.
“Begitu, ya. Ada
juga hal seperti itu,” Tersenyum, Lyncreya mengakhiri pembicaraan.
Setelah menaiki dua lantai lagi, mereka akhirnya sampai di puncak
gedung. Di sana,
Lyncreya bisa merasakan luapan energi magis yang luar biasa. Ia terkejut,
karena meski sejak terjadinya hujan debu sebelum ini—kira-kira empat hari yang
lalu—sisa-sisa energi magis masih sangat terasa. Lyncreya curiga, sebuah sihir
tingkat tinggi mungkin pernah dilepaskan di tempat ini.
“Mari kita periksa tempat ini. Mungkin ada petunjuk yang
bisa mengarahkan kita ke pelaku,” Ucap Lyncreya. Raulia menjawab hanya dengan
mengangguk.
Lyncreya berjalan ke ujung tempat parkir itu. Ia bisa melihat
sisa-sisa sebuah lingkaran sihir yang digambar menggunakan kapur. Melihat dari
susunan lingkaran itu, Lyncreya curiga sihir yang mereka gunakan adalah sihir
pemanggilan. Muncul pertanyaan dalam benaknya: makhluk macam apa yang mereka panggil?
Ketika Lyncreya menyadarinya, Raulia telah berdiri di
sampingnya. Ia juga menatap lingkaran sihir di depannya.
“Ah, bagaimana pendapatmu tentang ini, Nona Raulia?” Tanya
Lyncreya.
Ia tidak menerima jawaban apapun. Lyncreya pun melirik ke
arah Raulia. Di wajah Raulia terdapat ekspresi yang dingin. Alisnya mengkerut
dan matanya menatap dengan tajam. Sama sekali bukan ekspresi yang enak untuk
dilihat.
“…Nona Raulia?” Sedikit takut, Lyncreya memanggil Raulia,
mengembalikan kesadarannya.
“Ah, Oh, iya, kenapa?”
“Wajahmu seram… Ada
apa?”
Terdiam sejenak, Raulia memasang senyum yang kelihatan
dibuat-buat, “T-tidak ada apa-apa kok, cuma perasaanku sedikit tidak enak.
Da-daripada itu, lebih baik kita segera melaporkan lingkaran sihir ini pada
Azu-nee!”
Lyncreya yang masih sedikit kebingungan, menjawab, “Benar
juga…”
Ketika Lyncreya akan mengambil telepon genggamnya, terdengar
suara, “Nona McFayt, Nona von Pluet, kalian bisa mendengarku?”
Lyncreya dan Raulia mencari sumber suara, namun tidak ada
hasil. Suara itu tiba-tiba terdengar dengan jelas, seperti langsung disampaikan
ke telinga mereka.
“Maaf karena harus
menggunakan telepati.”
“Telepati… Sihir aliran ruang dan waktu…” Ucap Lyncreya
tanpa sadar.
Raulia terkejut, “Eh? Sihir? T-telepati? Siapa ini?”
“Ini Horatio Reynolds,” Jawab suara itu tenang.
“Ooh, Tuan Barista,
ya? Ada apa?”
“Maaf mengganggu investigasi kalian, namun sesuatu terjadi.
Tiga blok dari tempat kalian berada dilanda hujan debu. Sebaiknya anda sekalian
memeriksa tempat itu. akan coba
memeriksa jika ada pancaran energi magis dari lokasi,” Jelas Horatio.
“B-benarkah itu? Lyn, sebaiknya kita segera ke sana!”
“Tunggu sebentar!” Lyncreya berkata, “Bagaimana dengan
Wolfgang? Apa ia sudah tahu?”
“…Tuan Kelly sudah berada di TKP.”
“Eh? Wolfgang sudah berada di sana?”
“Bagus kalau begitu,” Raulia menarik tangan Lyncreya, “Kita
harus menyusulnya!”
Lyncreya merasa bimbang, namun akhirnya ia mengikuti Raulia.
Dalam hatinya, ia berharap Wolfgang tidak apa-apa.
***
5 Maret, pukul 11.10
Setelah berdiam diri selama beberapa saat, Wolfgang mulai
berjalan menjauhi gedung parkir itu. Ia berpikir untuk berjalan-jalan tanpa
arah karena merasa bosan. Setelah berjalan selama lima belas menit, Wolfgang dihentikan oleh
sebuah suara.
“Anda sudah terlalu jauh dari gedung parkir tujuan, Tuan
Kelly.”
“Ergh? Suara ini kan—”
Mendengar suara yang terdengar tenang dan ramah itu,
Wolfgang teringat pada satu orang. Ia menengok ke sana kemari, namun ia tidak menemukan orang
itu. Ketika suara itu mulai terdengar lagi, Wolfgang semakin kebingungan.
“Ada
apa, Tuan Kelly?”
“Kau Barista dari café
itu kan? D-darimana
kau bicara?”
“Aku menggunakan telepati, Tuan Kelly. Mohon lihat keatas.”
Wolfgang mendongak. Tepat diatasnya, hinggap di kabel,
adalah seekor burung.
“Aku menggunakan Madagascar Magpie-robin tersebut sebagai katalis
untuk sihir telepatiku, sehingga bisa menghubungkan kita lewat pikiran. Sekedar
menyarankan, lebih baik jika anda berbicara denganku, pelankan suara anda atau
anda akan jadi pusat perhatian,” Jelas suara itu. Wolfgang kemudian menengok ke
sekitarnya. Ia melihat beberapa orang memandangnya dengan aneh. Merasa malu,
Wolfgang mulai berjalan lagi.
“Dengan cara inilah aku bisa mengintai seluruh kota, dan melihat adikmu
ketika hujan debu beberapa hari yang lalu,” Horatio menjelaskan.
“Oke, oke. Aku sudah dengar. Sekarang, lebih baik kau tidak
bicara lagi,” Ujar Wolfgang pelan.
“Baiklah kalau begitu. Tapi aku tidak janji akan diam ketika
sesuatu yang penting terjadi.”
“Tak masalah bagiku,” Wolfgang menanggapi dengan santai. Ia
menghela nafas lega ketika ia tidak mendengar suara Horatio lagi.
Berjalan selama beberapa menit, Wolfgang sampai di sebuah
jembatan kecil. Seseorang yang bersandar di pagar jembatan kelihatan familiar
bagi Wolfgang. Ia mencoba mengingat-ingat, di mana ia pernah melihat gadis itu.
“Benar juga—rumah sakit,” Wolfgang menepuk kepalanya pelan.
“Ah,” Gadis itu menyadari keberadaan Wolfgang, “Tuan Kelly?”
“Yo,” Sapa Wolfgang, “Sedang apa kau di sini?”
Holly Day tersenyum, “Aku sedang dalam perjalanan pulang
dari kampus,” Jawabnya ramah.
“Begitu yah. Baiklah kalau begitu, sampai nanti,” Wolfgang
berniat pergi kalau saja tidak dihentikan oleh Holly yang menarik bajunya dari
belakang.
“…Ada
apa?”
“Anu, aku ingin bicara sebentar,” Kata Holly sambil
menunduk.
“Tentang apa?”
“Tentang gadis itu.
Gadis yang muncul pada hari hujan debu turun.”
Mendengar kata-kata Holly, tubuh Wolfgang sedikit gemetar.
Ia menarik nafas dalam-dalam, kemudian berbalik.
“Baiklah kalau begitu. Bicaralah.”
Sesaat, Holly kelihatan ragu. Namun kemudian ia berbicara
dengan perlahan, “Aku… Ingin bertemu lagi dengan gadis itu.”
Wolfgang sedikit terkejut. Ia kemudian bertanya, “Kenapa?”
“Aku bisa mengingat tatapan mata gadis itu. Bisa dibilang
aku sedikit terhantui olehnya. Ia kelihatan begitu kesepian… Aku ingin
membantunya agar ia bisa kelihatan lebih ceria.”
Wolfgang mengernyitkan dahi, “Kau tidak mengenal gadis itu
bukan? Kenapa kau mau melakukan itu?”
Seakan sudah menduga jawaban seperti itu, Holly tersenyum
kecil, “Aku bukan asli dari sekitar sini. Asalku dari Philadelphia. Waktu pertama datang kemari,
aku tidak mengenal siapapun. Aku tahu benar rasa kesepian… Karena itu aku ingin
meringankan beban hati gadis yang kesepian itu.”
Setelah terdiam sejenak, Wolfgang berkata, “Kau gadis yang
aneh.”
“Banyak yang bilang demikian,” Holly menanggapi masih dengan
seulas senyum di bibirnya.
Setelah itu, Wolfgang melihat sesuatu terjatuh di bahunya.
Warnanya kelihatan berkilau. Awalnya ia mengira itu salju, namun ia
menyingkirkan pikiran itu ketika ia ingat ini adalah bulan Maret. Lalu ia
bertanya-tanya, apa yang ada di bahunya ini? Sesaat kemudian barulah ia
menyadari, benda berkilau itu memenuhi sekitarnya.
“Ini… Hujan debu..?!”
“Sepertinya demikian…” Kata Holly.
Kemudian Wolfgang teringat, apa yang terjadi pada
orang-orang yang berada di area yang terkena hujan debu.
“Kita harus menjauh dari sini…. Heh? Hei, kau mendengarku?”
Wolfgang mencoba berbicara pada Holly. Namun anehnya, tatapan gadis itu
kelihatan kosong. Ia sepertinya tidak melihat ke arah Wolfgang, namun ke
belakang Wolfgang. Wolfgang pun berbalik, dan pemandangan yang ia lihat tidak
bisa ia percayai.
“Helena…?”
Di ujung jembatan, berdiri seorang gadis yang dikenali oleh
Wolfgang. Ia mengenakan one-piece dress
putih tak berlengan, menunjukkan kulitnya yang seputih salju. Tatapan matanya
yang berwarna kuning gelap, kelihatan lesu dan kosong, seperti mata sebuah
mayat. Rambutnya yang panjang, terurai hinggga ke pinggulnya, diayun-ayunkan
oleh angin sepoi-sepoi. Gadis itu adalah Helena—adik
Wolfgang.
Ketika perhatian Wolfgang masih terpusat ke sosok Helena, Holly tiba-tiba berjalan melewatinya, ke arah Helena.
“Itu dia… Itu dia… Aku, aku, aku ingin membantunya, agar ia
tidak kesepian…”
Wolfgang menarik tubuh Holly, “Jangan dekati dia! Berbahaya!”
Namun itu tak menghentikan langkahnya.
Sesaat kemudian, tubuh Holly melemas. Ia terjatuh begitu
saja. Wolfgang pun menyangga tubuhnya.
“Oi! Kau tidak apa-apa?!” Seru Wolfgang pada Holly. Ia tidak
mendapatkan jawaban apapun.
Wolfgang kemudian mendongak, melihat ke arah Helena yang masih saja
berdiri diam di ujung jembatan.
“Helena!”
Ia mencoba memanggilnya, namun Helena
tetap bungkam.
Sesaat kemudian, bertepatan dengan berhentinya hujan debu,
Helena menghilang begitu saja seakan dia tidak pernah ada disitu, meninggalkan
Wolfgang sendirian dengan Holly yang sudah tidak sadarkan diri.
***