5 Maret, pukul 12.00
Bersama dengan teh hangatnya, Archibald menikmati
pemandangan Kota San Cielo dari kamar hotelnya. Di lantai dua puluh itu, Ia
bisa melihat nyaris seluruh gedung tinggi yang ada di kota itu. Dialihkan pandangannya ke bawah. Ia
melihat orang-orang yang berlalu lalang di jalan seperti semut. Pemandangan itu
sedikit membuatnya senang.
Tiba-tiba ia merasakan telepon genggamnya bergetar. Ketika
ia melihat nama yang tertera di layar teleponnya, ia tersenyum.
“Ada
apa, Nona Informan?”
“Aku ada kabar buruk. Yah, mungkin tidak seburuk itu. Tapi
bisa dibilang cukup buruk,” Jawab ‘Nona Informan’.
“Langsung saja ke intinya.”
“Baiklah…” ‘Nona Informan’ itu berhenti sejenak, kemudian
mulai bicara lagi, “Orang-orang dari agensi sudah menemukan tempat kalian
melakukan ritual pemanggilan. Aku rasa tidak akan butuh waktu lama hingga
mereka menyadari apa yang sebenarnya terjadi.”
“Kenapa dengan itu?”
“Jangan pura-pura bodoh. Aku tidak ingin rencanamu gagal.
Sebaiknya kau segera selesaikan ini secepat mungkin.”
Archibald tertawa kecil mendengar nada suara ‘Nona Informan’
yang semakin kedengaran marah, “Kau terdengar khawatir dan terburu-buru. Tidak
seperti biasanya.”
“Sudah kubilang, aku hanya ingin mengakhiri segala urusan
ini, dan aku ingin semuanya lancar.”
“Baik, baik. Aku akan mempercepat jalannya rencana. Kau
tenang saja.”
‘Nona Informan’ itu menghela nafas lega, “Baguslah kalau
begitu. Oh iya, mungkin ini bukan sesuatu yang penting, tapi akan tetap
kusampaikan. Salah satu investigator di pihak pemerintah adalah Wolfgang Kelly.”
Mata Archibald menyipit ketika mendengar nama itu, “Wolfgang
Kelly… Wolfgang Kelly yang itu? Pemburu bayaran?”
“Ya. Aku sendiri cukup terkejut ketika ia menerima misi ini.”
Tanpa sebab yang pasti, Archibald tersenyum. Senyum yang
kelihatan polos, seperti senyum seorang anak kecil.
“…Nama yang membuatku teringat dengan masa lalu. Baiklah,
aku akan langsung menjalankan rencana malam ini. Aku juga ingin melihat sosok
Wolfgang Kelly, anak dari ‘orang itu’.”
“Tidak kusangka kau akan jadi lebih bersemangat setelah
mendengar nama itu. Tapi, yah, jika itu membuatmu ingin mempercepat jalannya
rencana, aku oke saja.”
“Itu saja yang ingin kau sampaikan?”
“Ya. Aku akan menelepon lagi jika ada kabar baru,” ‘Nona
Informan’ itu mengakhiri pembicaraan. Sementara, Archibald kembali menatap
pemandangan Kota San Cielo di depannya.
“…Apa komentar ayah kalau ia mendengar hal ini, ya? Reuni
malam ini akan sangat menyenangkan,” Katanya, sambil menyesap teh yang sudah
mulai agak dingin.
***
5 Maret, pukul 16.30
Usai mendengar laporan tentang apa yang terjadi hari ini
dari Lyncreya dan Raulia, ekspresi Azusa
berubah menjadi jengkel. Ia menghentakkan kakinya ke lantai kayu Birdcage dengan keras, seperti seorang
pemain drum yang mabuk.
“Aku tidak suka ini… Sama sekali…!” Katanya dengan nada
tinggi.
“Mereka mempercepat aktivitas mereka. Kita tidak tahu kapan
mereka akan bergerak lagi, mungkin saja malam ini akan terjadi sesuatu lagi,”
Kata Raulia sambil melahap sesendok parfait-nya.
“Aku benci mengakuinya, tapi itu benar,” Azusa menanggapi, masih dengan ekspresi masam
dan suara bernada tinggi.
“Maafkan kami, Nona Mikawa. Kami tidak bisa melakukan
apapun, dan membiarkan korban berjatuhan lagi. Kami… Aku… Sangat menyesal,”
Kata Lyncreya sambil menundukkan kepalanya.
“Tenang saja, Lyn. Siapapun takkan bisa melakukan apa-apa.”
Tidak ada balasan dari Lyncreya dan Raulia. Azusa menarik nafas
dalam-dalam, kemudian memukul meja di depannya. Bunyinya yang sangat keras
mengejutkan Lyncreya dan Raulia.
“Namun, bukan berarti kita harus menyerah!”
“Eeh?”
“Sebenarnya, aku kemari membawa kabar baik! Rahasia tentang
hujan debu itu, akan segera terungkap!”
Lyncreya secara reflek berdiri, “A-anda tahu sesuatu
mengenai hujan debu itu?”
Azusa
mengulurkan tangan kanannya ke depan dan menggerakan jari telunjuknya ke kanan
dan ke kiri, seakan berkata jangan
remehkan aku.
“Kurang lebih. Setidaknya aku mendapatkan petunjuk yang
mungkin bisa mengarahkan kita ke rahasia dibalik hujan debu itu.”
Raulia bertepuk tangan, “Ayo mulai ceritanya!”
Azusa
berdeham, kemudian mulai bercerita, “Pertama-tama, aku ingin mengumumkan bahwa
aku meminta bantuan dari kepolisian setempat. Aku rasa ini akan memberikan
keuntungan, apalagi kalau dilihat dari jumlah.”
“Wah, bagus itu…” Lyncreya menanggapi.
Usai berhenti sejenak untuk menarik nafas, Azusa
melanjutkan, “Kemudian, aku sudah mendapatkan identitas lelaki botak yang
menyerang kita beberapa hari yang lalu. Namanya Choi Wan. Dia seorang kriminal
kumatan. Dia sama sekali tidak punya hubungan dengan dunia sihir atau
semacamnya.”
Menghela nafas, Raulia berkomentar, “Haaah, jalan buntu ya?”
“Itu baru informasi pertama. Biar kuteruskan ke yang kedua.
Tentang hujan debu berkilau, hal itu bukan pertama kalinya terjadi di San
Cielo.”
Lyncreya lagi-lagi secara reflek berdiri, “Eeh?! Jadi hujan
debu itu pernah terjadi sebelum ini?”
“Ya. Menurut laporan warga di daerah Eropa tengah, hujan
debu itu setidaknya pernah terjadi sekali di tiap kota-kota kecil atau desa. Yang
pertama kali, itu terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu. Namun, efeknya jauh
lebih kuat daripada yang terjadi di sini… Setidaknya, kelihatannya begitu.”
“Apa maksudmu?”
“Hujan debu itu tidak hanya menyebabkan orang-orang tak
sadarkan diri, namun menghilangkan seluruh penduduk desa itu.”
“Semuanya?”
“Semuanya.”
Lyncreya terduduk, dan memegangi keningnya, “Bagaimana
mungkin…”
“Diduga, di desa itu sedang dilaksanakan sebuah eksperimen
yang melibatkan beberapa peneliti. Namun mereka juga menghilang, entah karena
efek dari hujan debu itu atau tidak. Nah, disinilah petunjuk kita berada.
Menurut pencarian yang dilakukan di pusat, kita berhasil menemukan salah satu
dari peneliti yang menghilang itu. Namanya Britt Jensen. Ia mengganti namanya
menjadi George Denton, dan menjadi guru di Washington.”
“Apa kita sudah berhasil menghubunginya?”
“Itulah masalahnya. Sejak beberapa hari yang lalu, Jensen
menghilang tanpa jejak. Ia tidak pernah mendatangi kelas yang diajarnya, dan
rumahnya kosong melompong.”
Menghadap gelas parfait
yang sudah habis, Raulia berkata, “Jalan buntu lagi ya?”
Bukannya memasang wajah jengkel, Azusa malah tersenyum, “Sebaliknya. Coba
kalian ingat, kapan hujan debu itu pertama kali terjadi. Kalau kita cocokkan
dengan saat Jensen menghilang—”
Meski awalnya bingung, Lyncreya mengerti apa maksud Azusa, “—Ada kemungkinan
dia ada di kota
ini!”
“Bingo, kau
pintar, Lyn,” Azusa
menjentikkan jarinya, “Kemungkinan, Jensen datang kemari karena adanya hujan
debu itu, apapun alasannya. Kalau kita berhasil menemukannya, mungkin kita akan
mendapat penjelasan tentang apa sebenarnya hujan debu berkilau itu,” Azusa mendekati kursi
tempat Lyncreya dan Raulia dan menyerahkan foto seorang lelaki tua yang
berjenggot tipis.
“Itu adalah foto Jensen. Aku juga menyuruh Horatio untuk
memeriksa dari udara. Aku optimis, kita bisa menemukannya dalam waktu singkat,”
Azusa berbicara
sambil membusungkan dadanya.
Ketika Lyncreya dan Raulia masih memperhatikan lembaran foto
di tangan mereka, Azusa
menengok kesana kemari, seperti sedang mencari seseorang.
“Ngomong-ngomong, Wolfgang tidak ada di sini. Kemana ia
pergi?”
Mendengar pertanyaan Azusa,
Lyncreya berdiri dan berkata, “Ah, kalau Wolfgang… Katanya ia ingin menyendiri
untuk sementara.”
Azusa mengernyitkan dahi, “Ada apa dengannya?”
“Entahlah, tapi aku rasa ada hubungannya dengan hujan debu
yang ia saksikan…” Kata Lyncreya. Tanpa sadar, ia mengingat ekspresi wajah
Wolfgang yang membopong tubuh Holly Day ketika ia dan Raulia menemuinya di
tempat hujan debu terjadi. Ekspresi kaget bercampur dengan kebingungan.
Lyncreya bertanya-tanya, apa yang dilihat Wolfgang di tengah hujan debu itu? Satu-satunya
cara adalah menanyakan hal ini langsung pada Wolfgang.
Setelah pertemuan dengan Azusa
dan Raulia usai, menaiki bus, Lyncreya pergi ke dermaga kota. Setibanya di sana ia segera pergi ke tempat pemancingan
yang pernah ia datangi bersama Wolfgang. Tepat seperti dugaannya, Wolfgang
sedang memancing di sana.
Embernya sudah dipenuhi ikan, mengisyaratkan bahwa ia sudah lama berada di
sini. Awalnya Lyncreya ragu-ragu mendekati Wolfgang. Namun setelah Wolfgang
menyadari keberadaan Lyncreya, gadis itu merasa tidak memiliki pilihan lain
selain menghampiri Wolfgang.
“Ada
apa, Kecil?”
Lyncreya menjawab dengan ragu-ragu, “A-anu, aku cuma ingin
tahu, apa kau sudah tidak apa-apa?”
Sambil mendengus, Wolfgang menjawab, “Memangnya aku kenapa?”
“K-kau sepertinya sedang ingin menyendiri…”
“Tidak juga kok,” Wolfgang kembali menatap lautan di
depannya.
Lyncreya kemudian mendekati Wolfgang, “Anu, tadi Nona Mikawa
memberi kita misi baru, yaitu untuk menemukan lelaki ini,” Lyncreya menyerahkan
foto Jensen pada Wolfgang, “Kemungkinan, orang ini mengetahui misteri dibalik
hujan debu yang terjadi di kota
ini.”
“Okelah. Tapi biarkan aku selesaikan memancingku. Hanya
tinggal satu jam lagi kok,” Jawab Wolfgang, dengan nada suara yang terdengar
tidak peduli.
Lyncreya pun duduk di samping Wolfgang. Di dalam hatinya, ia
tidak bisa membendung keingintahuannya. Apa yang sebenarnya Wolfgang lihat di
tengah hujan debu itu? Mengumpulkan seluruh keberanian dalam tubuhnya, Lyncreya
melancarkan satu pertanyaan.
“Wolfgang, apa yang kau lihat ketika hujan debu itu terjadi?”
Beberapa detik setelah pertanyaan itu diucapkan, Wolfgang
tidak menjawab. Lyncreya pun mulai merasa menyesal menanyakan hal itu. Namun
sebelum ia bisa meminta maaf, Wolfgang berbicara terlebih dahulu.
“…Adikku.”
Lyncreya terkejut.
“Eh? Tapi, bagaimana mungkin…?”
“Aku rasa ia punya sebuah hubungan dengan hujan debu, karena
ia selalu muncul pada saat itu. Tapi aku tidak tahu hubungan apa itu.”
Lyncreya termenung. Ia sama sekali tidak menduga diantara
semua orang, yang muncul adalah orang yang dicari-cari Wolfgang. Lyncreya
kemudian memberanikan diri untuk bertanya sekali lagi.
“Apa yang sebenarnya terjadi pada adikmu, Wolfgang?”
Seperti sebelumnya, Wolfgang tidak langsung menjawab.
“K-kalau kau tidak mau bicara, tidak apa kok…” Ujar Lyncreya
yang menyesali pertanyaannya.
“Akan kuceritakan, kalau kau tidak masalah dengan cerita
yang menjengkelkan.”
Lyncreya tidak menyangka ia akan mendapat jawaban dari
Wolfgang setelah interval yang lama, “M-menjengkelkan…? Tidak masalah sih…”
Wolfgang pun memulai ceritanya, “Adikku… Helena punya sebuah kelebihan yang aneh. Ia
bisa membaca pikiran orang. Hal itu membuatnya menjadi incaran para ilmuwan.
Namun ayahku selalu menolak tawaran mereka, berapapun uang yang mereka
tawarkan. Kemudian, sepuluh tahun yang lalu, sesuatu terjadi. Seluruh anggota
keluargaku diculik dan dipisahkan. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada
keluargaku. Yang aku tahu hanya, penculikan itu dilatar belakangi oleh
seseorang yang menginginkan kekuatan Helena.”
Setelah menarik nafas panjang, Wolfgang melanjutkan, “Sejak
aku mulai bekerja sebagai pemburu bayaran, aku selalu mencari di mana
keluargaku berada. Aku sudah bertemu dengan adik lelakiku, dan orang tuaku. Satu-satunya
yang tidak bisa kutemukan adalah Helena.
Aku berhasil menemuinya di kota
ini, tapi dia kelihatan sedikit aneh. Ia seperti tidak mengenaliku. Karena
itulah aku berniat untuk menyelesaikan misi ini dan bertemu dengannya lagi.”
Lyncreya melihat Wolfgang yang menatap tangan kirinya yang
terbuka lebar, lalu digenggamnya tangannya, seakan memegang sesuatu.
Melihatnya, dalam hati Lyncreya terdapat keinginan untuk membantu Wolfgang
menemukan Helena.
Ia ingin tangan itu bisa meraih tangan adik yang dicintainya.
“Aku… Aku akan membantumu, Wolfgang. Untuk menemukan Britt
Jensen—untuk menemukan Nona Helena. Aku akan membantu dengan sekuat tenagaku,”
Kata Lyncreya dengan mantap.
Wolfgang awalnya kelihatan terkejut. Namun kemudian ia
tersenyum tipis, “…Trims.”
Melihat senyum Wolfgang, pipi Lyncreya memerah, “Ah, oh…
Ti-tidak masalah. Daripada itu…”
Lyncreya kemudian berdiri dan memasuki gubug pemancingan.
Ketika Wolfgang kebingungan dengan apa yang dilakukan Lyncreya, gadis itu
keluar membawa sebuah joran.
“Aku ingin ikut memancing!” Lyncreya menyatakan dengan
jelas. Ia kemudian langsung melemparkan kailnya ke lautan, membuat Wolfgang
geleng-geleng kepala.
“Apaan itu. Sama sekali bukan memancing. Kau belum memasang
umpannya,” Wolfgang yang sama sekali tidak terkesan, berkomentar.
“Eeeh? B-benar juga.”
“Kau pasti tidak tahu cara memasang umpan. Sini, serahkan
padaku.”
Lyncreya menyerahkan joran dan sekaleng umpan ke Wolfgang.
Dengan cepat namun rapi, Wolfgang memasang cacing umpan di kail. Lalu ia
melemparkan kail ke laut dengan perlahan.
“Kau tidak bisa asal melemparkan kail. Jaraknya harus tepat.
Coba, ini, pegang,” Wolfgang menyerahkan joran kembali ke tangan Lyncreya yang
masih kebingungan. Menerima joran dari Wolfgang, iapun tersenyum.
“Hihihi…”
“Kenapa tertawa?”
“Wolfgang kelihatan senang ketika bicara tentang memancing.”
“…Memangnya apa yng salah dengan itu?”
“Tidak ada. Hanya sedikit aneh.”
“Kalau begitu tidak usah berkomentar,” Wolfgang kembali
duduk dan memegang jorannya. Lyncreya pun duduk di sampingnya.
“Perhatikan kenur. Getarannya dapat terlihat jelas. Kau
harus—”
Wolfgang pun menjelaskan panjang lebar tentang memancing.
Dari kapan joran harus digentak, hingga cara menaklukan ikan yang akan
ditangkap. Semua itu dilakukannya dengan nada penuh semangat dan ekspresi
antusias. Lyncreya memperhatikan dengan seksama segala penjelasan dari
Wolfgang, dan mulai menerapkannya. Mereka begitu asyik terlibat dalam memancing
hingga lupa waktu. Tanpa terasa, waktu sewa mereka habis.
“Memancing itu mengasyikkan ya?” Komentar Lyncreya ketika
mereka sampai di halte bus.
“Jangan sombong dulu. Masih banyak teknik yang harus kau
pelajari dalam memancing,” Ujar Wolfgang dengan sinis.
“Apa kau mau mengajariku, Wolfgang?”
“Heh… Yah, tidak ada pilihan lain.”
Lyncreya tertawa, “Bagus deh kalau begitu.”
Keduanya pun akan menaiki bus dan berniat untuk kembali ke
hotel. Namun sebuah suara yang akrab menghentikan mereka.
“Tuan Kelly, Nona von Pluet, bisa minta waktu sebentar?”
“Suara ini… Tuan Reynolds? Ada apa?” Lyncreya menanggapi.
“…Hujan debu telah terjadi lagi. Tepatnya mulai dua menit
yang lalu.”
Lyncreya dan Wolfgang saling pandang. Kemudian Lyncreya
berkata, “Beritahu lokasinya, Tuan Reynolds!”
Horatio pun menjelaskan dengan rinci. Setelah itu, Lyncreya
dan Wolfgang berpindah bus dan pergi menuju ke TKP. Lyncreya bisa merasakan
detak jantungnya yang semakin cepat. Ia sedikit ketakutan, namun ketika ia
melihat sosok Wolfgang di sampingnya, entah mengapa rasa takutnya menghilang.
Awalnya ia bertanya-tanya, kenapa bisa demikian? Namun ia tidak memikirkan hal
itu terlalu jauh, dan memilih untuk lebih konsentrasi ke apapun yang akan
menghadang mereka dalam perjalanan ke lokasi.
***