Rain of Dust - Chapter 6




5 Maret, pukul 12.00

Bersama dengan teh hangatnya, Archibald menikmati pemandangan Kota San Cielo dari kamar hotelnya. Di lantai dua puluh itu, Ia bisa melihat nyaris seluruh gedung tinggi yang ada di kota itu. Dialihkan pandangannya ke bawah. Ia melihat orang-orang yang berlalu lalang di jalan seperti semut. Pemandangan itu sedikit membuatnya senang.
Tiba-tiba ia merasakan telepon genggamnya bergetar. Ketika ia melihat nama yang tertera di layar teleponnya, ia tersenyum.

“Ada apa, Nona Informan?”
“Aku ada kabar buruk. Yah, mungkin tidak seburuk itu. Tapi bisa dibilang cukup buruk,” Jawab ‘Nona Informan’.
“Langsung saja ke intinya.”
“Baiklah…” ‘Nona Informan’ itu berhenti sejenak, kemudian mulai bicara lagi, “Orang-orang dari agensi sudah menemukan tempat kalian melakukan ritual pemanggilan. Aku rasa tidak akan butuh waktu lama hingga mereka menyadari apa yang sebenarnya terjadi.”
“Kenapa dengan itu?”
“Jangan pura-pura bodoh. Aku tidak ingin rencanamu gagal. Sebaiknya kau segera selesaikan ini secepat mungkin.”
Archibald tertawa kecil mendengar nada suara ‘Nona Informan’ yang semakin kedengaran marah, “Kau terdengar khawatir dan terburu-buru. Tidak seperti biasanya.”
“Sudah kubilang, aku hanya ingin mengakhiri segala urusan ini, dan aku ingin semuanya lancar.”
“Baik, baik. Aku akan mempercepat jalannya rencana. Kau tenang saja.”
‘Nona Informan’ itu menghela nafas lega, “Baguslah kalau begitu. Oh iya, mungkin ini bukan sesuatu yang penting, tapi akan tetap kusampaikan. Salah satu investigator di pihak pemerintah adalah Wolfgang Kelly.”
Mata Archibald menyipit ketika mendengar nama itu, “Wolfgang Kelly… Wolfgang Kelly yang itu? Pemburu bayaran?”
“Ya. Aku sendiri cukup terkejut ketika ia menerima misi ini.”
Tanpa sebab yang pasti, Archibald tersenyum. Senyum yang kelihatan polos, seperti senyum seorang anak kecil.
“…Nama yang membuatku teringat dengan masa lalu. Baiklah, aku akan langsung menjalankan rencana malam ini. Aku juga ingin melihat sosok Wolfgang Kelly, anak dari ‘orang itu’.”
“Tidak kusangka kau akan jadi lebih bersemangat setelah mendengar nama itu. Tapi, yah, jika itu membuatmu ingin mempercepat jalannya rencana, aku oke saja.”
“Itu saja yang ingin kau sampaikan?”
“Ya. Aku akan menelepon lagi jika ada kabar baru,” ‘Nona Informan’ itu mengakhiri pembicaraan. Sementara, Archibald kembali menatap pemandangan Kota San Cielo di depannya.
“…Apa komentar ayah kalau ia mendengar hal ini, ya? Reuni malam ini akan sangat menyenangkan,” Katanya, sambil menyesap teh yang sudah mulai agak dingin.
***

5 Maret, pukul 16.30

Usai mendengar laporan tentang apa yang terjadi hari ini dari Lyncreya dan Raulia, ekspresi Azusa berubah menjadi jengkel. Ia menghentakkan kakinya ke lantai kayu Birdcage dengan keras, seperti seorang pemain drum yang mabuk.
“Aku tidak suka ini… Sama sekali…!” Katanya dengan nada tinggi.
“Mereka mempercepat aktivitas mereka. Kita tidak tahu kapan mereka akan bergerak lagi, mungkin saja malam ini akan terjadi sesuatu lagi,” Kata Raulia sambil melahap sesendok parfait-nya.
“Aku benci mengakuinya, tapi itu benar,” Azusa menanggapi, masih dengan ekspresi masam dan suara bernada tinggi.
“Maafkan kami, Nona Mikawa. Kami tidak bisa melakukan apapun, dan membiarkan korban berjatuhan lagi. Kami… Aku… Sangat menyesal,” Kata Lyncreya sambil menundukkan kepalanya.
“Tenang saja, Lyn. Siapapun takkan bisa melakukan apa-apa.”
Tidak ada balasan dari Lyncreya dan Raulia. Azusa menarik nafas dalam-dalam, kemudian memukul meja di depannya. Bunyinya yang sangat keras mengejutkan Lyncreya dan Raulia.
“Namun, bukan berarti kita harus menyerah!”
“Eeh?”
“Sebenarnya, aku kemari membawa kabar baik! Rahasia tentang hujan debu itu, akan segera terungkap!”
Lyncreya secara reflek berdiri, “A-anda tahu sesuatu mengenai hujan debu itu?”
Azusa mengulurkan tangan kanannya ke depan dan menggerakan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri, seakan berkata jangan remehkan aku.
“Kurang lebih. Setidaknya aku mendapatkan petunjuk yang mungkin bisa mengarahkan kita ke rahasia dibalik hujan debu itu.”
Raulia bertepuk tangan, “Ayo mulai ceritanya!”
Azusa berdeham, kemudian mulai bercerita, “Pertama-tama, aku ingin mengumumkan bahwa aku meminta bantuan dari kepolisian setempat. Aku rasa ini akan memberikan keuntungan, apalagi kalau dilihat dari jumlah.”
“Wah, bagus itu…” Lyncreya menanggapi.
Usai berhenti sejenak untuk menarik nafas, Azusa melanjutkan, “Kemudian, aku sudah mendapatkan identitas lelaki botak yang menyerang kita beberapa hari yang lalu. Namanya Choi Wan. Dia seorang kriminal kumatan. Dia sama sekali tidak punya hubungan dengan dunia sihir atau semacamnya.”
Menghela nafas, Raulia berkomentar, “Haaah, jalan buntu ya?”
“Itu baru informasi pertama. Biar kuteruskan ke yang kedua. Tentang hujan debu berkilau, hal itu bukan pertama kalinya terjadi di San Cielo.”
Lyncreya lagi-lagi secara reflek berdiri, “Eeh?! Jadi hujan debu itu pernah terjadi sebelum ini?”
“Ya. Menurut laporan warga di daerah Eropa tengah, hujan debu itu setidaknya pernah terjadi sekali di tiap kota-kota kecil atau desa. Yang pertama kali, itu terjadi sekitar sepuluh tahun yang lalu. Namun, efeknya jauh lebih kuat daripada yang terjadi di sini… Setidaknya, kelihatannya begitu.”
“Apa maksudmu?”
“Hujan debu itu tidak hanya menyebabkan orang-orang tak sadarkan diri, namun menghilangkan seluruh penduduk desa itu.”
“Semuanya?”
“Semuanya.”
Lyncreya terduduk, dan memegangi keningnya, “Bagaimana mungkin…”
“Diduga, di desa itu sedang dilaksanakan sebuah eksperimen yang melibatkan beberapa peneliti. Namun mereka juga menghilang, entah karena efek dari hujan debu itu atau tidak. Nah, disinilah petunjuk kita berada. Menurut pencarian yang dilakukan di pusat, kita berhasil menemukan salah satu dari peneliti yang menghilang itu. Namanya Britt Jensen. Ia mengganti namanya menjadi George Denton, dan menjadi guru di Washington.”
“Apa kita sudah berhasil menghubunginya?”
“Itulah masalahnya. Sejak beberapa hari yang lalu, Jensen menghilang tanpa jejak. Ia tidak pernah mendatangi kelas yang diajarnya, dan rumahnya kosong melompong.”
Menghadap gelas parfait yang sudah habis, Raulia berkata, “Jalan buntu lagi ya?”
Bukannya memasang wajah jengkel, Azusa malah tersenyum, “Sebaliknya. Coba kalian ingat, kapan hujan debu itu pertama kali terjadi. Kalau kita cocokkan dengan saat Jensen menghilang—”
Meski awalnya bingung, Lyncreya mengerti apa maksud Azusa, “—Ada kemungkinan dia ada di kota ini!”
Bingo, kau pintar, Lyn,” Azusa menjentikkan jarinya, “Kemungkinan, Jensen datang kemari karena adanya hujan debu itu, apapun alasannya. Kalau kita berhasil menemukannya, mungkin kita akan mendapat penjelasan tentang apa sebenarnya hujan debu berkilau itu,” Azusa mendekati kursi tempat Lyncreya dan Raulia dan menyerahkan foto seorang lelaki tua yang berjenggot tipis.
“Itu adalah foto Jensen. Aku juga menyuruh Horatio untuk memeriksa dari udara. Aku optimis, kita bisa menemukannya dalam waktu singkat,” Azusa berbicara sambil membusungkan dadanya.
Ketika Lyncreya dan Raulia masih memperhatikan lembaran foto di tangan mereka, Azusa menengok kesana kemari, seperti sedang mencari seseorang.
“Ngomong-ngomong, Wolfgang tidak ada di sini. Kemana ia pergi?”
Mendengar pertanyaan Azusa, Lyncreya berdiri dan berkata, “Ah, kalau Wolfgang… Katanya ia ingin menyendiri untuk sementara.”
Azusa mengernyitkan dahi, “Ada apa dengannya?”
“Entahlah, tapi aku rasa ada hubungannya dengan hujan debu yang ia saksikan…” Kata Lyncreya. Tanpa sadar, ia mengingat ekspresi wajah Wolfgang yang membopong tubuh Holly Day ketika ia dan Raulia menemuinya di tempat hujan debu terjadi. Ekspresi kaget bercampur dengan kebingungan. Lyncreya bertanya-tanya, apa yang dilihat Wolfgang di tengah hujan debu itu? Satu-satunya cara adalah menanyakan hal ini langsung pada Wolfgang.
Setelah pertemuan dengan Azusa dan Raulia usai, menaiki bus, Lyncreya pergi ke dermaga kota. Setibanya di sana ia segera pergi ke tempat pemancingan yang pernah ia datangi bersama Wolfgang. Tepat seperti dugaannya, Wolfgang sedang memancing di sana. Embernya sudah dipenuhi ikan, mengisyaratkan bahwa ia sudah lama berada di sini. Awalnya Lyncreya ragu-ragu mendekati Wolfgang. Namun setelah Wolfgang menyadari keberadaan Lyncreya, gadis itu merasa tidak memiliki pilihan lain selain menghampiri Wolfgang.
“Ada apa, Kecil?”
Lyncreya menjawab dengan ragu-ragu, “A-anu, aku cuma ingin tahu, apa kau sudah tidak apa-apa?”
Sambil mendengus, Wolfgang menjawab, “Memangnya aku kenapa?”
“K-kau sepertinya sedang ingin menyendiri…”
“Tidak juga kok,” Wolfgang kembali menatap lautan di depannya.
Lyncreya kemudian mendekati Wolfgang, “Anu, tadi Nona Mikawa memberi kita misi baru, yaitu untuk menemukan lelaki ini,” Lyncreya menyerahkan foto Jensen pada Wolfgang, “Kemungkinan, orang ini mengetahui misteri dibalik hujan debu yang terjadi di kota ini.”
“Okelah. Tapi biarkan aku selesaikan memancingku. Hanya tinggal satu jam lagi kok,” Jawab Wolfgang, dengan nada suara yang terdengar tidak peduli.
Lyncreya pun duduk di samping Wolfgang. Di dalam hatinya, ia tidak bisa membendung keingintahuannya. Apa yang sebenarnya Wolfgang lihat di tengah hujan debu itu? Mengumpulkan seluruh keberanian dalam tubuhnya, Lyncreya melancarkan satu pertanyaan.
“Wolfgang, apa yang kau lihat ketika hujan debu itu terjadi?”
Beberapa detik setelah pertanyaan itu diucapkan, Wolfgang tidak menjawab. Lyncreya pun mulai merasa menyesal menanyakan hal itu. Namun sebelum ia bisa meminta maaf, Wolfgang berbicara terlebih dahulu.
“…Adikku.”
Lyncreya terkejut.
“Eh? Tapi, bagaimana mungkin…?”
“Aku rasa ia punya sebuah hubungan dengan hujan debu, karena ia selalu muncul pada saat itu. Tapi aku tidak tahu hubungan apa itu.”
Lyncreya termenung. Ia sama sekali tidak menduga diantara semua orang, yang muncul adalah orang yang dicari-cari Wolfgang. Lyncreya kemudian memberanikan diri untuk bertanya sekali lagi.
“Apa yang sebenarnya terjadi pada adikmu, Wolfgang?”
Seperti sebelumnya, Wolfgang tidak langsung menjawab.
“K-kalau kau tidak mau bicara, tidak apa kok…” Ujar Lyncreya yang menyesali pertanyaannya.
“Akan kuceritakan, kalau kau tidak masalah dengan cerita yang menjengkelkan.”
Lyncreya tidak menyangka ia akan mendapat jawaban dari Wolfgang setelah interval yang lama, “M-menjengkelkan…? Tidak masalah sih…”
Wolfgang pun memulai ceritanya, “Adikku… Helena punya sebuah kelebihan yang aneh. Ia bisa membaca pikiran orang. Hal itu membuatnya menjadi incaran para ilmuwan. Namun ayahku selalu menolak tawaran mereka, berapapun uang yang mereka tawarkan. Kemudian, sepuluh tahun yang lalu, sesuatu terjadi. Seluruh anggota keluargaku diculik dan dipisahkan. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada keluargaku. Yang aku tahu hanya, penculikan itu dilatar belakangi oleh seseorang yang menginginkan kekuatan Helena.”
Setelah menarik nafas panjang, Wolfgang melanjutkan, “Sejak aku mulai bekerja sebagai pemburu bayaran, aku selalu mencari di mana keluargaku berada. Aku sudah bertemu dengan adik lelakiku, dan orang tuaku. Satu-satunya yang tidak bisa kutemukan adalah Helena. Aku berhasil menemuinya di kota ini, tapi dia kelihatan sedikit aneh. Ia seperti tidak mengenaliku. Karena itulah aku berniat untuk menyelesaikan misi ini dan bertemu dengannya lagi.”
Lyncreya melihat Wolfgang yang menatap tangan kirinya yang terbuka lebar, lalu digenggamnya tangannya, seakan memegang sesuatu. Melihatnya, dalam hati Lyncreya terdapat keinginan untuk membantu Wolfgang menemukan Helena. Ia ingin tangan itu bisa meraih tangan adik yang dicintainya.
“Aku… Aku akan membantumu, Wolfgang. Untuk menemukan Britt Jensen—untuk menemukan Nona Helena. Aku akan membantu dengan sekuat tenagaku,” Kata Lyncreya dengan mantap.
Wolfgang awalnya kelihatan terkejut. Namun kemudian ia tersenyum tipis, “…Trims.”
Melihat senyum Wolfgang, pipi Lyncreya memerah, “Ah, oh… Ti-tidak masalah. Daripada itu…”
Lyncreya kemudian berdiri dan memasuki gubug pemancingan. Ketika Wolfgang kebingungan dengan apa yang dilakukan Lyncreya, gadis itu keluar membawa sebuah joran.
“Aku ingin ikut memancing!” Lyncreya menyatakan dengan jelas. Ia kemudian langsung melemparkan kailnya ke lautan, membuat Wolfgang geleng-geleng kepala.
“Apaan itu. Sama sekali bukan memancing. Kau belum memasang umpannya,” Wolfgang yang sama sekali tidak terkesan, berkomentar.
“Eeeh? B-benar juga.”
“Kau pasti tidak tahu cara memasang umpan. Sini, serahkan padaku.”
Lyncreya menyerahkan joran dan sekaleng umpan ke Wolfgang. Dengan cepat namun rapi, Wolfgang memasang cacing umpan di kail. Lalu ia melemparkan kail ke laut dengan perlahan.
“Kau tidak bisa asal melemparkan kail. Jaraknya harus tepat. Coba, ini, pegang,” Wolfgang menyerahkan joran kembali ke tangan Lyncreya yang masih kebingungan. Menerima joran dari Wolfgang, iapun tersenyum.
“Hihihi…”
“Kenapa tertawa?”
“Wolfgang kelihatan senang ketika bicara tentang memancing.”
“…Memangnya apa yng salah dengan itu?”
“Tidak ada. Hanya sedikit aneh.”
“Kalau begitu tidak usah berkomentar,” Wolfgang kembali duduk dan memegang jorannya. Lyncreya pun duduk di sampingnya.
“Perhatikan kenur. Getarannya dapat terlihat jelas. Kau harus—”
Wolfgang pun menjelaskan panjang lebar tentang memancing. Dari kapan joran harus digentak, hingga cara menaklukan ikan yang akan ditangkap. Semua itu dilakukannya dengan nada penuh semangat dan ekspresi antusias. Lyncreya memperhatikan dengan seksama segala penjelasan dari Wolfgang, dan mulai menerapkannya. Mereka begitu asyik terlibat dalam memancing hingga lupa waktu. Tanpa terasa, waktu sewa mereka habis.
“Memancing itu mengasyikkan ya?” Komentar Lyncreya ketika mereka sampai di halte bus.
“Jangan sombong dulu. Masih banyak teknik yang harus kau pelajari dalam memancing,” Ujar Wolfgang dengan sinis.
“Apa kau mau mengajariku, Wolfgang?”
“Heh… Yah, tidak ada pilihan lain.”
Lyncreya tertawa, “Bagus deh kalau begitu.”
Keduanya pun akan menaiki bus dan berniat untuk kembali ke hotel. Namun sebuah suara yang akrab menghentikan mereka.
“Tuan Kelly, Nona von Pluet, bisa minta waktu sebentar?”
“Suara ini… Tuan Reynolds? Ada apa?” Lyncreya menanggapi.
“…Hujan debu telah terjadi lagi. Tepatnya mulai dua menit yang lalu.”
Lyncreya dan Wolfgang saling pandang. Kemudian Lyncreya berkata, “Beritahu lokasinya, Tuan Reynolds!”
Horatio pun menjelaskan dengan rinci. Setelah itu, Lyncreya dan Wolfgang berpindah bus dan pergi menuju ke TKP. Lyncreya bisa merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Ia sedikit ketakutan, namun ketika ia melihat sosok Wolfgang di sampingnya, entah mengapa rasa takutnya menghilang. Awalnya ia bertanya-tanya, kenapa bisa demikian? Namun ia tidak memikirkan hal itu terlalu jauh, dan memilih untuk lebih konsentrasi ke apapun yang akan menghadang mereka dalam perjalanan ke lokasi.

***

Posted in , , . Bookmark the permalink. RSS feed for this post.

Leave a Reply

Diberdayakan oleh Blogger.

Search

Swedish Greys - a WordPress theme from Nordic Themepark. Converted by LiteThemes.com.